Ada sedikit percakapan belalangtua dengan setetes embun. beri ia kata yang ngeh buat mengembangkan diri. Parang, golok, jokopenthil (li), dwig, indigo, trew, tattva, dulimohr, adhi, heru, pakar, nanang, ts(eliot)p, idenk (kendi), dinesea, dhjt, dukun, ribut; tolong komennya....
June mungkin ini gayanya nge-Haiku...
percakapan embun
di lidah daun
atau di rimbun
rumputan
titik-titik embun
membiru berhimpun
teriring hujan yang turun
selarat gerimis
pekat dalam mataku
saat kugangsir kubur
di kaki nenekku
kutanam cicit yang baru
mati oleh rasa ibunya
tangan-tangan besi
langit yang pasi
perihku tak terbagi
betapa embun lupa
memberi setetes sejuk
lewat kerlingnya
052003
sedang ini dari dinesea
percakapan embun
di lidah daun atau di rimbun rumputan
titik-titik embun membiru berhimpunan
selarat gerimis pekat dalam mataku
teriring hujan yang turun menggangsir kuburku
di kaki nenekku kutanam cicit yang baru
mati oleh rasa ibunya cicit membujur kaku
tangan-tangan besi langit yang pasi
perihku tak terbagi menghampiri pasti
betapa embun lupa memberi setetes sejuk
lewat setetes kerlingan bening merajuk
waduh.. maap puisinya jadi acak-acakan, master ...
Belalangtua
trims din,
udah cape2 bikin pantun dari puisi yang aku niatkan jadi model haikujepang yang mendekati bentuk aforisma china ini.
terima-kasih waktunya...
dinesea
sama-sama master
HAIKU-nya berhasil... dari satu titik ngalir turun sampai tiga titik tanpa ngerubah makna dari baitnya.
saya aja yang iseng... abis nyaris rima bersajak dan enak untuk dibuat pantun...
gatel,master...
tattva
gw gak perlu komentar.
isi kosong kosong isi
gw kasih lo kosong belle
maaf kalo komentar gw ngerubah arti dan makna dari puisi lo. sekian.
Belalangtua
hemmmm adakah yg sanggup menggubahmu jadi bhagavatgita, tattva...
tattva
mungkin U.G belle? atau thom yorke? atau krisna sendiri? yang pasti bukan arjuna nanti gw dirubah jadi playboy hahahhaa!
Belalangtua
bukankah khrisna dan arjuna satu sperm dari Visnu.
tattva
anaknya si kunti dari sperm si indra di RA. mungkin itu rama belle, yang menjepit rahwana diantara gunung dengan panahnya.
hehehehe
(ada juga keunggulan gw dari si belle)
Belalangtua
tubuh arjuna disusun dari terakota indra
di bumi kunthi, namun jiwanya disepuh
oleh visnu serupa khrsna hehehehe
rahwana selayaknya begitu....
tattva
tuutt tuuuttt tuuuttt (saluran telp putus)
June
good...good...good...aku sangat suka puisinya. terutama permainan irama katanya. thank's
Parang
syukurlah percakapan embun ini tak terpeleset dengan pencamtuman kata 'ku'.
sebab kata itu....renta maknanya.Tak segar dibuatnya percakapan embun kalau ada kata 'ku' atau 'aku'.
Belalangtua
ada yang kau lupa...mataku dan nenekku
sistia_amba
Haiku, klaim ini terlalu mewah untuk tradisi puisi di Indonesia. Tapi, tak apa, untuk sekadar pembelajaran. Senang juga rasanya.
Belalangtua
mungkin nanti ada klaim terlalu mewah juga untuk aforisma china, macapat ronggowarsito, surealismenya rimbaud, baudelaire, apollinaire, fanatsismenya borges di endonesia (karena lidah kita sulit bilang indonesia). tapi, boleh juga buat diperhatikan petuahnya. btw apa itu HAIKU?
novel
setahu gw,haiku itu cuma terdiri dari 3 baris
baris pertama 5 suku kata
baris kedua 7 suku kata
baris ketiga 5 suku kata
asli dari jepang,dan biasanya bertutur tentang keindahan alam semesta
itu aza seh yang gw tau,coba aza ke perpus UI FIB ,disana haiku jepangnya lumayan bagus,apalagi sastra dari korea,u harus coba baca,pasti terkesan,ok thx...
percakapan embun
di lidah daun
atau di rimbun
rumputan
titik-titik embun
membiru berhimpun
teriring hujan yang turun
selarat gerimis
pekat dalam mataku
saat kugangsir kubur
di kaki nenekku
kutanam cicit yang baru
mati oleh rasa ibunya
tangan-tangan besi
langit yang pasi
perihku tak terbagi
betapa embun lupa
memberi setetes sejuk
lewat kerlingnya
kayanya kalo untuk dikatakan ini haiku,kurang tepat banget ya,sorry bukannya so tau,tapi menurut pengalaman gw selama membaca buku dari berbagai penjuru bumi,setiap kali menemukan haiku,itu bentuknya selalu baku,ta dapat diubah.dan sangat simple,namun memberikan kesan yang alami,mudah diingat.
ini salah satu contoh yang pernah gw baca:
Like red silk satin
cut leaves fall in late August
from colorful trees
semoga membantu lo membuat haiku yang sesuai dengan tatanan yang ada
ok
Belalangtua
makasih sarannya....
membelah tubuh
jadi serangga
bukannya sukma
makanya hanya bergaya sebab semangatnya saja yang terbetik dan itu tak hanya pada haiku namun juga pada aforisma dan puisi china klasik
UREH
Gaya Haiku ya? Hmmm ...
kalo masalah nyamannya untuk dibaca, ini bener-bener asik. tapi ... kalo memang ada aturan tentang rima, agaknya kurang enak dibagian-bagian belakang, jadi agak nggak berirama dan agak nggak renyah (emang cemilan?). ataukah memang itu aturannya?
mungkin gitu aja ya tante?
sebenarnya aku suka gaya seperti ini. pendek-pendek, enak dinikmatin, nggak terlalu berat untuk baca tulisan yang banyak, tapi harus diulang-ulang untuk menemukan arti sesungguhnya, letak keindahannya, dan juga letak kekurangannya (kalo mau dikomentarin).
Salam hangat,
UREH
(yang lagi mau serius nanggepi tapi masih nggak punya banyak referensi. maaf )
Belalangtua
naaa itu yang penting kekurangan dan keindahannya. ayo, dibahas aja. oya, maksud novel itu mungkin bukan konsistensi dalam satu bait itu mengandung 3, 5, 7 kata perbarisnya, melainkan 5, 7, 5 suku kata. Tapi ada kok haiku yang gak mengikuti pola itu, bisa 7, 5, 7 dan bisa pola lainnya.
novel
kalo pola haiku lain dari haiku,ya...namanya bukan haiku mas,ya puisi biasa.jadi kalo tulisan Anda mau dikatakan haiku ya harus ikut apa kata aturan haiku
only tree lines
bukan beberapa bait
semoga para bapa2 yang ingin berhaiku ria dan orang yang mengerti banyak haiku tidak mentertawakan karya Anda yang Anda klaim sebagai haiku
kecuali kalo Anda mau membuat haiku gaya indonesia,mungkin ganti nama,sebab it's original from japan,not indonesia.
oke semoga sukses n sangat membantu Anda dalam berkarya
Belalangtua
sekali lagi kayanya perlu diluruskan bahwa puisi percakapan embun hanya mengambil semangat dari HAIKU, jadi bukan haiku itu sendiri. mengenai konsistensi bentuk HAIKU; sekali lagi bukan pada formalisme 5, 7, 5 suku kata seperti yg sdr/i Novel sampaikan. lebih jelasnya mari kita simak ulasan sederhana berikut:
dalam tradisi seni jepang dikenal istilah syibumi, wujud keindahan yg menyimpan amanat alam, yakni kesejatian sifat alam itu sendiri.
dalam segala seni, dan malahan barangkali boleh dikatakan dalam kehidupan sehari-hari di jepang, orang berusaha menjelmakan syibumi. syibumimenjadi citra keindahan di jepang.
para penyair jepang pun berusaha menjelmakan syibumi. begitupun ketika seorang penyair jepang membentuk HAIKU, maka syibumicoba dihadirkan di sana.
haiku, bentuk puisi paling pendek dalam sastra jepang, lahir dan berkembang pada masa antara abad-abad ke-16 dan ke-17, merupakan kelanjutan dari perkembangan bentuk-bentuk puisi sebelumnya. Dalam Manyoshu, antologi puisi tertua di jepang yang menghimpun sejumlah sajak dari masa-masa sebelum abad kedelapan, didapati 324 naga-uta(sajak panjang) dan 400 tanka(sajak pendek). naga-uta, ada yg mencapai 150 baris, tidak timbul lagi setelah abad kedelapan. tanka, dari bentuk yg meliputi lima baris (baris pertama dan ketiga masing-masing terdiri atas lima suku kata), antara abad keenambelas dan delapanbelas, tumbuh menjadi haiku, keseluruhannya hanya 17 suku kata dan tersusun dalam tiga baris dan tidak bersajak. namun ada kalanya forma 17 suku kata itu lepas, seperti karya Matsuo Basho (1644-1694) berikut ini:
jika diperhatikan, maka haiku di atas terdiri dari 5, 9, 5 suku kata; total 19 suku kata.
haiku lain, masih karya Matsuo Basho:
Furuike ya
Kawazu tobikomu
Mizu no oto
(di kolam tua
katak terjun - suara
plungnya berbantun)
haiku ini nyata terdiri dari 5, 7, 5 suku kata, totalnya 17 suku kata. yang pasti keduanya terdiri dari 3 baris saja dan masih menjadi puisi paling pendek di jepang. syibuminya itu yang menarik bagi saya untuk mengasah model ini. bentuk percakapan embun dari mula memang tidak disarankan sebagai polaritas bentuk dari haiku anda dan tokoh sastra indonesia lainnya boleh tertawa saya pun ikut tertawa.
daya kesan citraan syibumi yang coba disarankan oleh haiku pun bisa anda temui dalam bentuk-bentuk komik jepang, dimana satu ruang bisa mengisi beberapa panel, kengungunan itu memang sedang kita usahakan lewat seni dan keseharian
ulasan di atas merupakan kutipan saya dari sebuah bacaan semoga anda bisa menemukan bahan wacan(jgn dirancukan dengan istilah wacana dlm bhs ina) saya itu
UREH
aku menyaksikannya
Belalangtua
aku bugil bulat
dengan menyimak percakapan di atas kita bisa belajar banyak, tentang proses belajar sastra, dan karakter orang-orangnya. ini terjadi ketika forum diskusi www.cybersastra.net masih kondusif sebagai ruang pembelajaran
Barangkali anda akan terperangah ketika menghadapi kenyataan adanya salah satu agenda dalam sistem pendidikan kita yang sarat dengan bentuk-bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan fisik, mental, maupun kekerasan struktural.
Fenomena salah satu institusi pendidikan tinggi kita, yang konon diharapkan akan memberikan kontribusi pada negara ini sejumlah pemimpin berkualitas, seperti kita saksikan bersama berkali-kali diekspose dan diulas panjang lebar pada salah satu stasiun televisi swasta kita; telah memberikan gambaran adegan-adegan mengerikan yang bagi para pengamat tindak kekerasan bisa dianggap sebagai tindakan tidak manusiawi dan tidak memanusiakan manusia. Betapa tidak, dalam lembaga pendidikan tinggi itu telah terjadi tindak kekerasan yang bisa dilakukan bahkan pada saat kegiatan awal (inisiasi/inagaurasi) penerimaan anggota baru salah satu kegiatan ekstrakurikuler (Unit Kegiatan Mahasiswa/UKM).
Tentu masyarakat umum yang sempat menonton boleh terkesima dan bertanya kemudian; bagaimana dengan bentuk kekerasan lain pada saat penerimaan mahasiswa baru? Bagaimana bentuk kekerasan pada saat inisiasi anggota baru pada UKM lainnya? Bagi masyarakat umum bisa muncul beragam polemik terhadap fenomena ini. Ada sebagian yang menganggap perlunya bentuk-bentuk perplocoan pada saat inisiasi/inagaurasi. Ada sebagian yang menolak segala bentuk ospek/opdik dengan alasan adanya unsur kekerasan. Ada juga yang tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu.
Ketika stasiun televisi yang menayangkan fenomena tersebut melakukan jajak pendapat dengan item pertanyaan setuju/tidak setujukah jika lembaga tersebut ditutup; maka sampai dengan sekitar pukul 20.00 wib per tanggal 21 September 2003, hasil polling sementara berdasarkan 7.000 sms yang masuk ke meja redaksi adalah 92% menyatakan setuju jika lembaga tersebut dibubarkan. Sisanya, 6,4% menyatakan tidak setuju dan 2,6% menyatakan tidak tahu.
Tentunya tidak adil, jika kita menyoroti fenomena kekerasan hanya pada peristiwa inisiasi penerimaan anggota baru kegiatan ekstra pada lembaga pendidikan tinggi yang ditayangkan oleh stasiun televisi tersebut. Kenyataannya, fenomena kekerasan senantiasa terjadi pada setiap lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan menengah – pendidikan tinggi, saat awal penerimaan siswa baru setiap tahun. Bentuk-bentuk kekerasan telah dilakukan sejak diadakannya kegiatan perploncoan (dengan berbagai variannya; ospeks, ppkm, opdiks, dsb). Turunan bentuk-bentuk kekerasan ini juga akan muncul pada penerimaan anggota baru setiap lembaga ekstrakurikuler pada lembaga pendidikan bersangkutan. Lebih jauh fenomena kekerasan semacam ini terjadi tidak hanya di tengah lembaga pendidikan kita, namun telah bersifat global seiring dengan perkembangan pendidikan modern dalam bentuk seperti yang kita kenal sekarang. Bahkan di negara-negara yang mengaku “demokratis” pun kekerasan dalam bentuk perploncoan ini sudah lama terjadi. Amerika bukan tempat yang bebas dari kekerasan dalam ruang-ruang lembaga pendidikannya.
Dalam mencermati fenomena tersebut tentunya tidak cukup hanya dengan menyatakan setuju/tidak setuju terhadap option dibubarkannya lembaga pendidikan tersebut. Ada persoalan-persoalan lebih radikal dan halus sifatnya yang perlu kita simak dan waspadai bersama. Akar persoalan fenomena ini tentu menjadi agenda yang layak kita pertimbangkan secara lebih jeli.
F. Budi Hardiman pernah menyatakan bahwa para pelaku kekerasan massa adalah manusia-manusia yang dikolektifkan dari dua sisi, oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh kelemahan komunitasnya. Manusia rentan terkena psikosis massa karena krisis makna dalam individu. Ketika merasa kehilangan tempat dalam masyarakat, merasa diri mereka tak bermakna, maka ego mereka mengecil dan panik. Perluasan ego ditawarkan oleh "etika semu" yang memprovokasi dan memobilisasi individu-individu menjadi massa yang melakukan tindak kekerasan. Budi menguraikan tiga akar kondisi yang melahirkan kekerasan massa. Karena pelaku berpikir dan merasa tidak melakukannya terhadap sesamanya, melainkan terhadap musuhnya yang harus dihancurkannya. Karena musuh itu dipersepsi mengancam survivalnya dan menimbulkan panik. Karena kondisi stuktural masyarakat membuatnya merasa terisolasi sebagai individu, tercerabut dari komunitasnya, dan terpinggirkan secara ekonomis.
Namun, ketiga akar kekerasan seperti yang disebutkan Budi Hardiman tidak menjadi motivasi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh setiap lembaga pendidikan yang menjalankan program inisiasi. Dengan demikian ketiga akar kekerasan yang dinyatakan F Budi Hardiman, menjadi tidak berlaku dalam hal ini, atau barangkali juga tidak berlaku dalam fenomena kekerasan yang lain.
Menurut Abd A’la, Staf Pengajar Fak Adab dan Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, kekerasan struktural adalah sistem atau struktur yang beroperasi dengan cara atau pola yang menimbulkan penderitaan terhadap manusia lain. Kekerasan model ini memiliki pengaruh dan dampak yang tidak kalah mengerikan dari tindakan anarkis atau tindakan brutal lain. Kejahatan ini akan membuat penghuni papan atas mendapatkan berbagai kebutuhan hidup lebih banyak dari para penghuni papan bawah. Kaum underdogs akan mengalami kerugian sedemikian rupa mulai dari terbengkalainya mereka dalam penderitaan permanen, seperti kekurangan pangan sampai bisa mati kelaparan. Pola ini lebih mengerikan karena pada gilirannya akan membuat mereka yang tertindas terpicu melakukan kekerasan langsung dalam bentuk kerusuhan, pembunuhan massal, atau anarkisme lain sejenis.
Sampai sejauh itu kekerasan struktural seperti yang disebutkan oleh Abd A’la seperti menemukan bentuknya yang paling konkrit, bahkan fisikal, dalam fenomena kekerasan di atas pentas penerimaan siswa/mahasiswa baru lembaga pendidikan menengah dan tinggi kita. Namun akar persoalan seperti yang disebutkan oleh Abd A’la ini pun tidak menemukan tubuh sejatinya dalam fenomena tersebut. Tidak ada aspek keadilan/ketidakadilan yang menjadi motivasi pelaksanaan program inisiasi semacam itu.
Kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan manapun dalam kegiatan inisiasi selalu disandarkan pada beragam argumen, seperti; pentingnya pembentukan mental yang kuat, penanaman disiplin, penumbuh-kembangan sikap kritis, pengenalan kampus, serta peneguhan rasa persaudaraan di antara jajaran civitas academica.
Jika kita hendak mempertanyakan nilai keberadaan kegiatan inisiasi yang kerap menjadi ajang beragam bentuk kekerasan itu, tak pelak kita perlu lebih mempertanyakan tujuan awal dari kegiatan semacam ini. Bagi sebagian orang yang menganggap perlunya inisiasi perploncoan itu umumnya akan kukuh dengan soal pentingnya empat hal yang menjadi tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut. Namun, kemudian, benarkah bahwa perploncoan menjadi satu-satunya cara untuk membentuk mental yang kuat pada siswa/mahasiswa. Banyak bentuk-bentuk kegiatan penguat mental lain yang rupanya telah dinafikkan oleh mereka yang kukuh pada sikap perlunya kegiatan ini bagi siswa dan mahasiswa baru.
Argumen penanaman disiplin juga bukan alasan yang cukup bertanggung jawab. Pertama tidak semua siswa/mahasiswa baru yang disiplin selama mengikuti acara perploncoan itu akan menjadi sosok yang penuh disiplin dalam kurun waktu selanjutnya. Katakanlah, seorang aktivis mahasiswa bisa dikatakan sebagai figur yang memegang teguh disiplin dan profesionalisme dalam kehidupan sehari-hari, toh nyatanya kita banyak melihat tokoh masyarakat yang dulunya pentolan aktivis mahasiswa justru melakukan tindakan tercela di ranah politik praktis. Jika penyelewengan disiplin itu bisa dilakukan oleh aktivis mahasiswa yang konon banyak mengenyam penggemblengan mental, bagaimana kita civitas academica lembaga pendidikan kita bisa menjamin bahwa program kegiatan inisiasi perploncoan bisa memanipulasi mental manusia untuk menjadi sedemikian disiplinnya.
Ada contoh menarik tentang pelatihan disiplin semacam itu yang, menurut penulis, jauh lebih bersahaja, bebas dari tindak kekerasan dan lebih mengena. Di sebuah biara Zen (bukan berarti bahwa di wilayah/agama lain tidak ada contoh semacam ini, pen.) datang seorang tamu biarawan yang baru menyelesaikan 10 tahun pendidikannya di biara lain dan dikatakan telah mengalami pencerahan. Dalam perjalanan menuju ruang tamu, biarawan tuan rumah bertanya pada tamunya. “Apakah engkau telah melepaskan terompahmu di depan pintu?” “Ya.” Jawab sang tamu lembut. “Apakah engkau meletakkan payungmu di sebelah kanan atau kiri terompahmu?” tanya tuan rumah itu lagi.
Sang tamu, yang telah mengalami pencerahan itu, tak mampu menjawab dan kemudian memutuskan untuk belajar dalam biara itu selama sepuluh tahun ke depan. Barangkali latihan disiplin semacam ini lebih mengena, ketimbang bentuk kekerasan seperti yang dipamerkan oleh berbagai lembaga pendidikan kita selama ini.
Jika kegiatan inisiasi ditujukan sebagai bentuk penumbuh-kembangan sikap kritis, maka para perencana dan pelaksana bahkan mungkin juga peserta (sebagai korban/pelaku tak langsung, jika dianalogikan sebagai tindakan kekerasan) perploncoan telah tidak menganggap pentingnya filsafat sebagai sikap kritis seperti yang ditulis oleh F. Magnis Suseno misalnya. Ada lebih banyak lagi ragam kegiatan yang lebih memicu dan mengembangkan sikap kritis ketimbang kegiatan peploncoan. Dengan begitu gugurlah argumen tujuan penumbuh-kembangan sikap kritis tersebut.
Jika kegiatan inisiasi diadakan demi membuka wawasan siswa/mahasiswa mengenai kampus dan lingkungannya, sekali lagi pertanyaannya berpulang pada apakah tidak ada jalan lain kecuali kegiatan instan dan manipulatif semacam itu.
Paling menarik barangkali ketika sampai pada persoalan penanaman rasa kebersamaan (self of accomby). Banyak kalangan yang menyangsikan adanya satu mekanisme mujarab untuk menanamkan rasa persaudaraan di kalangan siswa/mahasiswa baru terhadap sesama, senior dan segenap civitas academica tanpa melalui gerbang inisiasi tersebut. Pandangan semacam ini jika kita cermati tampaknya bersifat positif ke dalam, namun justru bisa menjadi akar konflik keluar. Orang-orang dengan solidaritas dan kecintaan berlebihan pada kelompoknya (chauvinisme) seperti yang hendak disasar oleh program-program inisiasi seperti itu sebenarnya justru bisa menjadi pelaku kekerasan paling efektif ketika telah berhadapan dengan masyarakat di luarnya. Mereka bisa menimbulkan kroni-kroni primordialis ketika telah kembali ke masyarakat.
Jadi sebenarnya bukan hanya pembubaran lembaga pendidikan tinggi yang telah secara jelas kita ketahui melakukan tindakan kekerasan terhadap mahasiswanya seperti tayangan stasiun televisi tersebut, lebih dari itu kita perlu mempertimbangkan kembali keberadaan program-program kegiatan inisiasi dalam lembaga-lembaga pendidikan kita, atau kita menghasilkan suatu generasi yang mengakrabi dan menghidupi kekerasan terus-menerus. Sebab pendidikan formal dan lembaga pendidikan telah terlanjur menjadi pengganti orang-tua dan masyarakat sebagai pendidik generasi muda kita. Akhirnya, semu berpulang pada kita juga.
Susilo, pengamat sosial, Koordinator Lembaga Kajian Masyarakat Urban Index Surabaya, tinggal di Surabaya.
Rabu, 20 Agustus 2003, lalu dikatakan Jawa Timur mencatat sejarah baru; yakni diresmikannya pemancangan tiang pembangunan Jembatan Suramadu oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Penyebutan fenomena ini sebagai titik sejarah baru yang cukup monumental setidaknya dapat kita temui pada pemberitaan berbagai media massa cetak maupun elektronik. Dikatakan demikian barangkali karena dua hal yang cukup berharga (setidaknya bagi media massa dan bagi para stakeholder atas pembangunan jembatan tersebut) bertemu dalam satu acara.
Pertama, kedatangan presiden (pejabat pemerintahan pusat) ke Jawa Timur (daerah) tentu patut menjadi sorotan tersendiri. Tak hanya media, masyarakat Jawa Timur dan Surabaya khususnya tentu saja menyambut gembira kedatangan orang no. 1 ini.
Kedua, Jembatan Suramadu sendiri sebagai tujuan kedatangan Megawati pun merupakan proyek yang sangat fenomenal. Jembatan ini direncanakan akan menghubungkan dua pulau pada dua titik; yakni Surabaya (P. Jawa) dan Bangkalan (P. Madura). Menurut catatan media, meskipun bukan jembatan antar pula pertama, Suramadu nantinya akan merupakan jembatan terpanjang di Indonesia yakni mencapai 5,4 kilometer.
Namun, kedua soal monumental yang melingkupi fenomena pembangunan Jembatan Suramadu ini bisa juga dianggap sebagai bayang-bayang. Atau sebagai realitas bayang-bayang. Berbicara mengenai bayang-bayang saya tiba-tiba teringat pada sebuah dialog klasik dalam Republic-nya Plato, buku ketujuh.
Simulacra Baru
“Bayangkanlah manusia-manusia yang hidup dalam semacam sarang di bawah tanah, dengan lubang yang terbuka ke arah cahaya memanjang sepanjang sarang itu. Orang-orang itu telah tinggal di sana sejak kecil. Kaki dan leher mereka terantai sehingga mereka tidak dapat bergerak. Mereka hanya dapat melihat hal-hal yang di depan mereka. Belenggu mereka di atur begitu rupa sehingga mereka tidak bisa memutar kepala mereka. Di atas dan di belakang kepala mereka ada cahaya api menyala. Di antara api dan para tawanan itu ada jalan yang ditinggikan. Anda akan melihat dinding rendah dibangun sepanjang jalan itu, seperti sebuah layar dengan para merionet yang memainkan boneka-boneka mereka. Saya paham, katanya.
Apakah anda juga paham, kataku, orang-orang yang melewati dinding membawa bejana, yang tampak pada dinding; juga gambar manusia dan binatang, terbuat dari kayu dan batu dan bermacam-macam bahan; dan sebagian tawanan, seperti yang anda duga, tengah mengobrol, dan sebagian lagi diam?
Ini gambar aneh, katanya, dan mereka adalah tawanan-tawanan aneh.
Seperti diri kita, jawabku, mereka hanya dapat melihat bayangan mereka, atau bayangan satu sama lain, yang diproyeksikan oleh api ke atas dinding gua?
Benar, katanya, apalagi yang dapat mereka lihat selain bayangan jika mereka tidak dapat menggerakkan kepala mereka?
Begitu pula, bukankah obyek yang dibawa seperti itu mereka lihat sebagai bayangan? Benar, katanya.
Dan seandainya, mereka sanggup berbicara satu sama lain, bukankah mereka hanya akan menyebut apa yang ada di depan mereka.”
Kisah manusia-manusia dalam gua ini sudah berumur ribuan tahun dan Walter Lippman , penulis buku klasik Public Opinion, memulai bukunya dengan kisah itu. Dalam kehidupan politik, sebagaimana tulis Jalaludin Rakhmat dalam pengantar atas buku Komunikasi Politik; Khalayak dan Efek (1989), tokoh-tokoh yang kita lihat dalam panggung politik adalah bayangan.
Kita menyusun cerita berdasarkan bayangan-bayangan itu.
“Tentu saja,” kata Lippman (1949: 5), “tokoh-tokoh penguasa itu adalah pribadi-pribadi hasil konstruksi kita. Apakah mereka sendiri mempercayai karakter publik mereka, atau apakah mereka hanya menyuruh orang lain untuk mementaskan mereka, selalu ada dua diri – diri publik dan diri sendiri, diri perseorangan dan diri di depan orang lain.”
Tak hanya Lippman yang menggunakan pendekatan ini untuk melihat realitas. Sosiolog kondang dari Abad-20 Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959) juga menelaah kehidupan manusia dengan paradigma dramaturgis. Dalam pandangan Goffman setiap kali kita berinteraksi maka kita selalu ingin mengelola kesan (impression management) yang kita harapkan tumbuh pada orang lain. Kehidupan sosial, oleh Goffman, pada gilirannya diibaratkan sebagai sebuah panggung teater; panggung sosial berikut aktor (sekaligus sutradara dan penulis naskah), setting, tata lampu dan irama musiknya. Prilaku pengelolaan kesan itu tanpa sadar atau sengaja, untuk meningkatkan status sosial, kepentingan finansial, atau politik tertentu. Sehingga pada gilirannya ada front region dan back region pada kehidupan sosial kita. Ada realitas nyata dan realitas semu atau bayang-bayang dalam kehidupan sosial kita.
Contoh yang baik mengenai pengelolaan kesan dan presentasi diri dengan menggunakan tim adalah pemeriksaan terhadap mantan presiden Soeharto mengenai praktek KKN-nya oleh tim Kejaksaan Agung di Jakarta, sebagai front region. Dan back regionnya adalah percakapan telepon Habibie dengan Jaksa Agung (waktu itu) Andi Ghalib yang bocor ke media massa.
Contoh lain bisa anda dapati pada pemberitaan Kompas, Jum’at 14 Feb 2003 berjudul: Suksesi Jembatan Suramadu. Pada hari Senin (10/2), Gubernur Jawa Timur (Jatim) Imam Utomo mengantar sejumlah tokoh masyarakat bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jakarta. Tujuannya, antara lain meminta Kepala Negara meresmikan pembangunan jembatan Surabaya-Madura sepanjang 5,4 kilometer.
Pada hari Selasa, Gubernur Jatim pulang ke Surabaya dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia pada pukul 06.00. Kemudian Imam Utomo duduk di kelas bisnis. Lalu, pada hari, jam, dan pesawat yang sama, kebetulan ada Menteri Keuangan Boediono yang juga akan ke Surabaya.
Namun, yang mengagetkan para penumpang Garuda, termasuk Kompas yang ada dalam pesawat tersebut, Menkeu justru duduk di kelas ekonomi. Sungguh ironis memang. Tapi, itulah gambaran pejabat publik kita yang sebagian besar tidak memiliki sense of crisis.
Ada pejabat yang benar-benar tampil sederhana seperti yang ditunjukkan Boediono, tetapi ada pula yang merasa atau mentang-mentang sebagai raja kecil di daerah.
Seandainya Menkeu mengetahui tujuan kedatangan rombongan Gubernur Jatim ke Jakarta, mungkin juga akan bertanya bagaimana pemerintah mau membiayai pembangunan proyek Suramadu senilai Rp 2,3 trilyun kalau para pejabat di daerah lebih mementingkan gaya hidup yang tinggi ketimbang upaya penghematan.
Peristiwa hari Senin dalam pemberitaan itu bisa dianggap sebagai front region dari kasus proses pembangunan Jembatan Suramadu. Peristiwa hari Selasa berikut pengandaian penulis beritanya, bisa dikatakan sebagai back region dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo dan beberapa tokoh masyarakatnya.
Dan seandainya kita sempat bersepakat bahwa kehidupan sosial (dan politik), mengikuti pandangan Goffman dan Lippman maka kedatangan Presiden kali ini; dalam rangka peresmian pemancangan tiang pertama Jembatan Suramadu pun bisa diajukan sebagai pemeranan sosiopolitik dan pengelolaan kesan. Pada latar belakangnya ada upacara permohonan; artinya tak cukup dengan surat permohonan yang diajukan secara resmi, yang bisa dirunut tradisi dari jaman rezim Orde Baru dimana para menteri senantiasa membungkuk-bungkuk ketika menyalami sang Smilling General sampai ke wilayah-wilayah feodal-aristokasi Surakartahadiningrat atau Ngayogyakartahadiningrat.
Jikapun makna tentang realitas sosiopolitik pembangunan Jembatan Suramadu sempat kita negosiasikan, itu artinya kita perlu kembali pada celoteh Saussure-Durkheim, dan dipertemukan dengan Levi-Strauss sehingga kita bisa memastikan bahwa makna sebuah realitas/fenomena itu bersandar pada siapa berinteraksi dengan siapa. Namun betapa pun kesepakatan ini masih mengandaikan adanya suatu makna baku/asasi/hakiki di luar sana. Dan makna hakiki itu kemudian dinegosiasikan ketika anda bertemu dengan saya dalam ruang-ruang publik atau media massa seperti kali ini. Jadi ada sesuatu (makna kebenaran) yang baku di luar sana dan ada yang (kemudian) berinteraksi, setiap interaksi akan melahirkan realitas baru dan realitas itu menjadi jamak. Pada gilirannya realitas yang jamak (banyak) itu menjadi mitos-mitos (seperti hantu) atau realitas hidup itu sendiri.
Gagasan-gagasan ini kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Baudrillard yang bicara panjang lebar tentang realitas simulacra. Secara sederhana, jika tidak dianggap gegabah, simulakra itu bisa diandaikan sebagai pandangan orang yang nyaris semaput (sebut saja Samun) dan kemudian membuat lukisan pemandangan. Dalam prosesnya Samun kerap ada melihat benda di depannya tampak kabur, samar atau melipatgandakan diri. Kemudian, mengikuti pandangannya yang mewah ini, Samun menghasilkan lukisan penuh garis-garis bayang.
Pada seperempat terakhir abad ke-19, sepertinya semua orang berusaha menjelaskan gerak melalui sains. Pada 1880, para penemu di dunia sadar bahwa gambar bergerak hampir ditemukan. Semua orang ingin menjadi yang pertama. Namun akhirnya, Thomas Alfa Edison, lelaki tua bandel itu yang menjadi orang pertama yang mendaftarkan hak paten atas proses penggunaan potongan plastik foto yang jernih. Lalu film pun berkembang.
Ketika gambar bergerak mulai berkembang gila-gilaan, beberapa pelukis radikal saat itu segera mengeksplorasi gagasan bahwa gerak dapat dilukiskan ke dalam bentuk gambar tunggal di atas kanvas. Pengikut aliran futuris di Italia dan Marcel Duchamp di Prancis mulai menyederhanakan gambar bergerak secara sistematis dalam media statis. Duchamp melukis Seorang Telanjang menuruni tangga. Duchamp yang lebih mengutamakan gagasan suatu gerak daripada sensasinya, akhirnya menyederhanakan konsep gerakan menjadi satu garis. Duchamp terus melaju, seniman futuris membubarkan diri, dan perupa lain kehilangan minat terhadap jenis gambar bergerak lain. Dalam periode yang sama, orang lain pun meneliti bidang yang sama dengan tidak mencolok. Di antara gerakan dinamis para futuris dan konsep diagram gerakan Duchamp, di situlah terletak simulacra realitas Baudrillard.
Fenomena pembangunan Jembatan Suramadu pun pada gilirannya juga menjadi simulakra baru. Ada realitas peresmian tiang pancang jembatan ini, yakni di Kelurahan Tambakwedi, Surabaya, serta di Desa Laban, Kecamatan Tragah, Kabupaten Bangkalan. Selain para petinggi dan undangan yang hadir dalam acara seremonial itu, penduduk sekitar tiang pancang itu pun menganggap peristiwa ini sebagai realitas yang nyata-nyata menyentuh kehidupan mereka. Para intelektual, kelas menengah, para calon investor pun menganggap fenomena ini sebagai realitas sebagaimana mereka ketahui dari media. Namun, barangkali bagi Mak Mursinah – pedagang kopi kaki lima yang pernah tergusur dari depan Kampus B Unair dan saat ini berdagang di bawah kecemasan kalau-kalau petugas tata kota menertibkan keberadaannya dari trotoar itu – realitas di Kelurahan Tambakwedi itu bukan sebuah realitas.
Memang ada juga sebagian orang yang berusaha menyambungkan fenomena ketaksadaran Mak Mursinah melalui obrolan mahasiswa pinggir jalan atau tukang becak dan karyawan Universitas Airlangga. Namun penyambungan terkesan itu terlalu jauh. Kalau pun Mak Mursinah terterpa informasi mengenai kedatangan presiden dan pembangunan Jembatan Suramadu, maka realitas – picture in our head, menurut istilah Lippman – itu terlalu samar bagi Mak Mursinah. Tidak menyentuh kehidupannya secara langsung.
Memperhatikan pemandangan ini kita jadi lebih mawas bahwa makna atas suatu realitas dan realitas itu sendiri bisa diciptakan dan diarahkan, sehingga tak ada lagi realitas sebenar-benarnya benar sebagaimana diandaikan oleh Levi Strauss maupun Durkheim. Jika demikian halnya maka bagaimana layaknya sikap kita terhadap fenomena peresmian pemancangan tiang pertama dan pembangunan Jembatan Suramadu. Jangan mudah percaya dan terpedaya, barangkali begitu.
Barangkali kita semua perlu sekali merenungkan arti pentingnya kedatangan presiden, selain dari meresmikan pemancangan tiang pertama jembatan itu. Dalam agenda politik nasional tahun 2004 merupakan tahun pesta rakyat dalam pemilu kesekian. Bisa jadi, kesediaan presiden meresmikan pemancangan tiang pertama Suramadu ada kaitannya dengan agenda 2004 itu. Lebih-lebih jika kita mengingat bahwa keberadaan Jembatan Suramadu itu pada posisi yang cukup strategis secara sosiopolitik di Jawa Timur yang bisa dikatakan sebagai basis NU dan notabene merupakan massa (solid) bagi PKB. Dengan demikian kedatangan Presiden dalam rangka peresmian pemancangan tiang pertama yang merupakan babak awal bagi drama pembangunan Jembatan Suramadu yang sangat ditunggu-tunggu oleh sebagian masyarakat Madura yang ada di Surabaya (demikian yang saya dengar dalam dialog interaktif pada Radio Suara Surabaya pada Rabu pagi itu mengenai acara seremonial ini) bisa menjadi saldo positif bagi citra diri Mbak Mega di depan masyarakat (calon) pemilih Jawa Timur. Padahal, menurut survey jajak pendapat Harian Kompas yang diumumkan pada hari Rabu, 20 Agustus 2003 itu juga, tersurat bahwa Arek Suroboyo Tak Bangga dengan Pemimpin Bangsa. Kolom polling yang bertajuk sama itu dimulai dengan kalimat; Menjelang Pemilihan Umum Tahun 2004 mendatang, muansa perebutan kursi nomor satu di negeri ini kian menajam. Para tokoh parpol yang sebagian di antaranya juga menjadi pejabat negara, mulai sibuk menggalang kekuatan masing-masing dengan mengerahkan segenap kekuasaan yang dimiliki.
Penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan parpol tak mustahil terjadi. Tanpa terasa, hak publik terampas. Padahal di sisi lain, sebagian masyarakat Indonesia masih terkekang persoalan domestik dalam memenuhi kebutuhan fisik minimum setiap harinya.
Tak heran, sebagian arek Suroboyo yang menjadi responden dalam jajak pendapat ini risau atas kelakuan para pejaba negara yang notabene pemimpin bangsa tersebut..........Barangkali metode polling ini tidak dilakukan secara sengaja untuk mengkritisi kedatangan Presiden ini sebagai tindakan politik partainya. Mungkin juga ada kemungkinan kelemahan atas polling tersebut. Karena Kompas juga bisa salah seperti ketika menyebut salah satu kelurahan yang menjadi titik pemasangan tiang pancang Jembatan Suramadu; yakni Sukolilo Barat, Kecamatan Labang, Madura.
Kita pun perlu menanyakan ulang tentang pentingnya pembangunan Jembatan Suramadu itu sendiri. Apakah pembangunan ini akan lebih menguntungkan pemerintah atau masyarakatnya. Dalam dialog interaktif pagi itu di Radio Suara Surabaya saya mendengar komentar salah seorang penelpon yang menyatakan bahwa besar kemungkinan pembangunan ini akan lebih berorientasi bagi keuntungan pemerintah dan masyarakat yang ada di Surabaya. “Namanya saja sudah Suramadu, artinya kan kepentingan Surabaya dulu yang diutamakan...” tambah penelpon tadi.
Belum lagi terlaksana proyek pembangunannya, telah muncul pendapat tentang perlunya review atas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (amdal) pembangunan Jembatan Suramadu ini. Pimpinan Proyek Induknya sendiri, Abdul Gafur Ismail, yang menyatakan hal ini. Tinjau ulang amdal ini dilakukan atas desain dan studi kelayakannya. Peninjauan ulang ini, didasarkan pada alasan yang cukup retoris yakni bahwa amdal lama telah melebihi masa berlakunya yang lebih dari lima tahun. Pertanyaannya kemudian, untuk sebuah proyek yang direncanakan akan berjalan selama lima tahun sejak 2002 sampai 2007 bagaimana bisa amdalnya habis tempo tahun ini. Lebih-lebih jika mengingat bahwa jembatan ini dirancang bakal tahan selama seratus tahun, apakah tidak lebih baik jika proyeksi seratus tahun itu juga dipenuhi.
Menurut Abdul Gafur Ismail, seiring dengan berjalannya waktu desain semula berubah menjadi lebih panjang, misalnya desain bentang tengah jembatan. Selain itu juga karena pertimbangan studi kelayakan dan pengujian terowongan angin. Dalam 5 tahun telah terjadi perubahan tak terduga untuk sebuah pembangunan jembatan yang diproyeksikan tahan selama 100 tahun, ironis tapi nyata. Juga saya pernah membaca tulisan Prof. Dr. J. Glinka SVD mengenai pengaruh peningkatan suhu udara yang terus kita rasakan saat ini terhadap lingkungan hidup kita. Secara nyata hal ini bisa rasakan sekarang, dimana beberapa daerah di Jawa Timur mengalami kekeringan akibat kemarau panjang. Secara teoritis peningkatan suhu udara terus-menerus ini juga akan diikuti dengan peningkatan permukaan air laut.
“Dalam seratus tahun lagi,” ujar Prof Glinka dalam obrolan santai di suatu sore. “Jika peningkatan suhu udara terus seperti ini, maka ada kemungkinan Surabaya sudah terendam air.” Jika Surabaya terendam air akibat peningkatan suhu udara terus-menerus itu, bagaimana nasib Jembatan Suramadu seratus tahun lagi? Atau kita tidak perlu memikirkannya?
Lebih lanjut, proyek pembangunan ini masih terganjal oleh masalah pembebasan tanah. Lahan akses sisi Surabaya dari jembatan ini baru terbebaskan sekitar 35 persen dari total 11,5 hektarare (ha) luas tanah kebutuhan proyek. Lahan akses sisi Madura sudah terbebas 67 persen dari total 60 ha. Hal ini tidak serta-merta berarti bahwa penduduk Madura lebih merasa mempunyai kebutuhan akan jembatan itu ketimbang penduduk Surabaya. Satu hal yang pasti, persoalan pembebasan tanah masih menjadi masalah.
Belum lagi jika kita menguliti persoalan yang lebih pelik terkait dengan dampak sosial budaya atas pembangunan Jembatan Suramadu ini. Pembicaraan di Radio Suara Surabaya belum lagi selesai ketika acara peresmian sudah dimulai. Barangkali kita memang tak akan sempat berpikir lebih jauh lagi. Barangkali kita pun hanya bisa menikmati simulakra realitas pembangunan Jembatan Suramadu, seperti orang-orang dalam gua-nya Plato yang hanya bisa melihat bayang-bayang.
Serupa Sunyi kesunyian adalah surga terbelah di kelangkang ibu, mengucurkan deras puting susu dan lendir menggumpal dari kerongkong gasangku serupa ponten paling akhir dimana aku hanya berhadapan bayangan busukku, menghitung tiap kepeng wang di kantung gombalku kau boleh lempari aku batu, belati atau tai tapi jangan puisi softex atau sajak beludak sebab di situ tanganmu mewujud gelembung-gelembung kosong yang selalu melolong – menceraikan telingaku dari lampu-lampu jalan – dan kakimu tak tercerna perut dengan lembut kecuali membuat sembelit tanpa jeda sirami dengan segantang arak paling tua atau anggur tapi aku pilih air sumur sebab ketulusannya melebihi kisah para rasul yang bisa kau tadwijkan kesunyian serupa ponten dan malaikat-malaikat kehilangan sayap sejak aku terpaku oleh cintamu pada perut dunia dan kelangkang bisu 052003
Juga pagi itu dia bangun dengan rasa yang sama, bahwa dia akan bertemu dengan bekas isterinya di salah satu tikungan kota ini. Entah, tikungan mana...(sebuah kutipan mentah dari mula ziarah iwan simatupang).
Begitu pun ketika dia pergi ke sebuah warung suram bernama cybersastra, di situ dia berharap bakal menemukan bekas isterinya yang telah mayat itu teronggok di salah satu tikungannya.
Sebuah kebetulan jika kemudian dia menuliskan sebuah komentar mengenai karya dari salah seorang rekan penyair kita yang terhormat. Tanpa mengurangi rasa hormat pada beliau di sini kita berniat untuk tidak menuliskan nama penyair terhormat kita tersebut. Secara kebetulan tokoh kita menuliskan komentarnya dalam bentuk seperti berikut ini:
“gebalau dingin suara-suara samun itu menggigir di tubir-tubir ruhku lewat pecahan cahaya yang leleh dari kelamin para penyamun. dikangkangi lelaki yang menjelma bapak di tikungan selindap pertigaan itu aku hanya bisa mengerakkan korek merah jambu dalam permainan farji gaun pengantin ibu. di langit yang membius dengan seribu rimbun rambut-rambut lembut dari telapak nganga aku dimuntahkan oleh anjing berdarah pisau lipat berlapis mantra penjinak zakar bergelibatan antara tiang-tiang bendera. aku lumer serupa setan-setan mungil berloncatan dalam hasrat mengatasi ketakutan habsi, menanting gumpalan kapas bersarung sutra piningit. antrian kucing pasar seperti ingin merayakan kelahiranku dengan onani bersama teriring madah kelana syair-syair berdarah dan sunatan masal. tak ada tuhan yang bersamadi melebihi lendir dan kilatan-kilatan sisikku. bulan pucat, menyimpan cemburu yang lurus pada surat-surat kawat. padahal selalu ada hati untuk pemesan jantung dalam pesta tempik setan-setan berjubah keniscayaan. semoga jalan-jalan tak lagi berlari saat tanganku turun dan menjejalkan pecahan botol kosong di gelambir susu ibu dan terkeratlah kertak tulang selangkamu oleh bias semburan nafasku yang lembur rangkai anusmu seperti lukisan-lukisan telinga patah berbalut kedunguan cantik dari negeri kincir angin. meski angin tak akan pernah lewat untuk sekedar melepas pemberangkatanmu menuju tonggak-tonggak paloma kita yang nyeringai angkuh. mari masuk ke rangka rengat dan karatku, maka kau akan temui wujudmu yang paling kasim
Cukup lama komentar tokoh kita, lelaki yang selalu mencari mayat isterinya ini, tidak mendapatkan tanggapan. Kemudian tanggapan itu justru datang dari essays kita dengan cara mempersandingkan puisi sang panyair dengan komentar tokoh kita; satu begini dan satu begitu. Dalam tanggapan itu seolah-olah komentar tokoh kita telah hadir sebagai puisi yang lain, alih-alih sebagai kritik. Pada gilirannya, seorang lain dengan cara lain membubuhkan opini dalam bentuk larik-larik puisi, entah apakah seorang yang ini pun menujukan tulisannya sebagai puisi sendirinya atau sebagai kritik tak pelak lagi, barisan komentar tersebut di atas segera mengundang masuknya seorang lain yang mengaku sebagai jago silat (lidah). Layaknya olahragawan, jago silat kita pun bergegap gempita melmparkan segala kegundahannya pada bentuk-bentuk komentar yang menurutnya bersifat pamer; satu lagi anak Dynosian, tulisnya.
Kali pertama membaca tulisan pendekar ini, tokoh kita pun mengernyitkan dahi. Apa arti Dynosian? Pada siapa kata itu ditebas-sabetkan oleh pendekar kita? Dengan kernyit dahinya tokoh kita pun kemudian melihat ruang-minum-bersama lain yang kebetulan dipajani puisi tokoh kita yang serupa sunyi;
Dalam ruang-minum-bersama di bawah pajanan puisi ini pun muncul tulisan cukup panjang lebar yang menyebutkan penandaan sifat absurd dalam puisi tersebut di atas dengan penjelasan bahwa hal semacam itu adalah pikiran kekanakan. Tokoh kita mengernyitkan dahi, sekali lagi, atas usaha keras pendekar kita ini. Tokoh kita bingung lagi, bahwa ternyata puisinya mengandung ciri absurd. Pencari mayat isterinya itu pun menggali lebih dalam tentang maksud dari yang absurd ini.
Menggelikan, bahwa kemudian suasana berkembang sangat cepat dan panas. Lebih mirip olok-olok jaman tokoh kita kanak-kanak. Ironisnya, dalam salah satu fase dari rally tanya-jawab ini muncul juga sebutan tokohkitakanak-kanak dan tokohkitabayi. Bahkan, dalam ruang-minum-bersama lain yang merupakan wilayah kritik untuk puisi seorang jawara lain (yang baru masuk mendaftarkan diri beberapa menit di tengah pesta selamatan tanya-jawab tokoh kita dengan pendekar kita, yang juga memiliki gaya salam jurus pembukaan dan akhiran yang mirip) pun muncul penyebutan tokohkitaisteri. Dalam ruang-minum-bersama tempat puisi jawara kita pun terdapat semacam perkenalan antara pendekar dan jawara. Menarik, menarik.
Pun menarik ketika pendekar kita, setelah beberapa saat menghilang tanpa permisi dari arena pertanya-jawaban itu, muncul lagi dan bertanya-tanya heran(?) tentang tradisi penulisan di buku tamu warung kita. Pada saat tokoh kita menyaksikan tanda-tanda pendekar kita di buku tamu sudah tidak tampak lagi kedua tokoh dunia persilatan itu, baik pendekar maupun jawara. Padahal, jauh sebelumnya tokoh kita telah dengan menebahdada mengundang pendekar itu bersilaturahmi di buku tamu. Betapa elok lenggang kangkungnya seorang pendekar yang merasa baru bertandang kemudian telah secara lihai berjumpalitan di ruang-minum-bersama tanpa lebih dulu (setidaknya) menengok buku tamu. Begitukah nampaknya kedewasaan (antitesa dari ciri absurd yang kekanakan seperti tulisnya) yang ingin dipertontonkan oleh pendekar kita di hadapan sidang, tokoh kita masih bekernyit dahi.
Dalam kernyit dahinya yang nujum tokoh kita mengambil sikap diam untuk sementara. Apalagi, penyair kehormatan kita yang semula diam dari ruang-minum-bersama (symposium) turut suka mengunci ruang tersebut dengan rasa keterusikannya pada model kritik tokoh kita dan pemilik opini pola larik.
Pada hawa mengawang-awang dilambung rasa geli ini, secara kebetulan, tokoh kita menjilati dengan leler matanya yang buta sebuah buku ganjil bertajuk catatanpinggir alias caping gugun atawa gm. Pada salah satu lembaran daun (ron) talnya, tersebutlah kisah mengenai pameran. Dalam larik-larik kalamnya terbetik isyarat bahwa pameran berasal kata pamer yang bersumber dari bahasa jawa. Pamer dalam khasanah bahasa jawa sendiri telah berabad-abad dianggap sebagai tindakan yang kurang tata. Namun gugun pun mengimbuhkan, pada gilirannya, bahwa pamer. Dalam arti tertentu, kita tak tinggi hati. Kita tak merasa bahwa kitalah yang mereka butuhkan. Tokoh kita kemudian mengingat pada telaah pendekar itu bahwa seolah-olah telah terjadi pameran di ruang-minum-bersama puisi penyair kehormatan kita. Tokoh kita eling (ingat; jawa) pada sebaris kalimat, satu lagi anak Dynosian (belakangan seorang kritikus handal dari kawasan gapus menjawab; itu seperti nama tokoh dalam mitologi yunani...oooo, yunani.)
Dalam kisah penjilatan caping yang kebetulan itu pun tokoh kita menjumpai halaman sehabis peperangan. Bagian ini mengingatkan tokoh kita pada rally pertanya-jawaban dengan sang pendekar yang dirasanya begitu menekan dan menyiksa, bukan karena dia merasa kalah atau dikalahkan. Namun kiranya menarik kita simak dulu kutipan mentah-terpenggal-penggal dari halaman sehabis perang itu, silakan;
Apakah arti kemenangan? Setelah kurawa dikalahkan, medan perang Kuru tinggal lapangan penuh bangkai. Bau busuk terbentang. Rasa cemar terapung ke kaki langit. Ribuan anjing ajak melolong, mengaum, mengais. Selebihnya Cuma erang sekarat para prajurit, di antara sisa kereta dan senjata yang patah.
Warna di sana hanya darah. Anyir. Tak akan ada lagi perbuatan kepahlawanan.
Si pemenang, kelima bersaudara Pandawa, telah merebut istana yang kini sepi. Mereka pun membisu capek memandangi balairung yang lengang. Apa, setelah ini? Akan apalagi?
Satu soal selesai, soal lain timbul.
Barangkali karena itulah Bhagawatgita, dialog antara Kresna dan Arjuna di ambang pertemuan besar di Kuru itu, menyebut tyaga. Yakni; sikap melepaskan diri dari kehendak memperoleh buah dari kerja. Siap yang menghendaki buah akan cepat kecewa. Buah itu akan busuk. Tapi sikap yang menjalankan kerja seraya tak terseret oleh hasrat itu ia akan benar-benar bebas, bahagia, dan lurus.
Yudhistira, orang yang lurus itu, bersedih ketika perang selesai dan kemenangan berada di tangannya. Kita bayangkan dia berjalan malam itu di lorong-lorong istana Astina yang baru saja ia rebut. Tiang-tiang perkasa Balustrada yang luas. Relung-reling yang mencekam. Lampu-lampu yang sayup, gemetar oleh angin, seperti ketakutan oleh kekuasaan, keangkuhan, dan keagungannya. Mengapa manusia harus memburu-buru kejayaan itu dan memperebutkannya dengan habis-habisan.
Mengenai bentuk tulisannya terhadap puisi penyair-kehormatan-kita yang oleh sebagian orang dianggap sebagai puisi yang lain itu, menurut tokoh kita, hanya soal darimana kita melihatnya. Seperti perumpamaan yang diberikan slamet rahardjo dalam diskusi seusai pementasan monolognya pada pembukaan Festival Seni Surabaya, yakni perihal pertengkaran antara seorang ibu dengan anaknya karena soal jumlah telur yang digoreng, masalahnya kembali ke soal darimana kita melihatnya. Darimana point of view kita arahkan.
Perihal kawan penyair-kehormatan-kita yang merasa kebakaran jenggot atas bentuk opini tokoh kita dan pemberi-opini-pola-larik, maka tokoh kita hanya bisa mengingatkan tentang perspektif dan point of view tersebut. Juga ketika penyair kehormatan kita menyebutkan perlu tidaknya menulis puisi dalam buku tamu, tokoh kita hanya mengingat pedomannya pada tradisi penulisan buku tamu di warung kita sebelum ini. Bahkan dalam satu kesempatan seorang rekan pernah menuliskan semacam essay di sana. Hal ini barangkali karena munculnya ketidakpuasan atas kecepatan tayang-langsung pada gallery-gallery di warung kita tercinta.
Perihal etika yang dipersoalkan oleh sang penyair dalam kunci penutupnya, tokoh kita merasa perlu belajar lagi membedakan etiket dan etika. Ini seperti perbedaan antara nevolet dan novel, jumut namun ada. Pembicaraan tentang etika, jika itu memang substansi persoalan yang ingin diajukan oleh sang panyair kehormatan kita, tentunya akan mengundang kita memasuki wilayah pilsyahwat. Sedikit ingatan tokoh kita yang lapuk mengembalikannya pada pertanyaan-pertanyaan asali dari lapangan pilsyahwat. Logika menanyakan (misalnya) apakah hukum-hukum penyimpulan yang lurus itu? Metodologi; apakah teknik-teknik penyelidikan itu? Metafisika terdiri dari dua yakni; ontologi dan kosmologi. Ontologi; apakah kenyataan itu? Kosmologi; bagaimanakah keadaannya sehingga kenyataan itu dapat teratur? Epistemologi; apakah kebenaran itu? Biologi kefilsafatan; apakah hidup itu? Psikologi kefilsafatan; apakah jiwa itu? Antropologi kefilsafatan; apakah manusia itu? Sosiologi kefilsafatan; apakah masyarakat dan negara itu? Etika; apakah yang-baik itu? Estetika; apakah yang-indah itu? Filsafat agama; apakah yang-keagamaan itu?
Atas gugatan sang-penyair-kehormatan-kita, maka tokoh kita merasa sangat bersyukur bahwa masih mampu membedakan dimana letak Etika dan dimana wilayah Estetika. Pada wilayah estetika, persoalan yang digemari tokoh kita tentu saja masalah keindahan, yang barangkali hadir dalam beragam bentuk yang tak pula harus mengikuti tradisi penulisan tiap jenis lahan estetika yang pernah ada. Sebab tanpa rasa bebas semacam itu maka chairil tak akan membongkar tradisi penulisan balai pustaka dan pujangga baru, juga kredo tardji tak akan dianggap sebagai pembaruan. Tanpa itu jenis-jenis ragam estetika (sastra misalnya) tak akan mengalami pembaruan dan perkembangan.
Mengenai absurditas yang oleh sang pendekar dianggap sebagai pandangan kekanakan, tokoh kita hanya bersyukur bahwa dia masih sanggup menikmati indahnya pemandangan sikap hidup absurd, dinding-dinding absurd, dan pemberontakan kaum absurd dalam pemikiran-pemikiran albert camus. Mengenai absurditas yang dilihat sang pendekar ada dalam opini dan puisi tokoh kita, pun mengingatkannya pada keangkuhan dunia pemaknaan yang telah menjadi tunggal dan rigid seperti tersebut. Padahal, puisi (teks) memiliki makna yang lebih luas dari sekedar satu kacamata (kuda) serupa reduksi kaum ilmuwan, fenomenolog, filsuf, maupun kritikus sendiri. Kritik dan puisi berada dan mengada dalam ranah kehidupan yang berbeda, saling mengadakan sekaligus saling meniadakan. Kalaupun puisi tokoh kita dianggap terlalu gelap atau (mendekati) surealistik maka dia pun bersyukur bahwa riwayat teks (estetika) surealis berliku cukup panjang sampai ke jaman sigmund freud menyatakan perlunya resistensi bagi manusia neurotik agar terbebas dari patologi yang dialaminya.
Begitulah kadang ingatan tokoh kita bisa mampir kemana-mana seperti seorang pelancong yang senantiasa berusaha menikmati persinggahannya. Juga kali ini dia ingat dengan rasa yang sama atas pembicaraan dalam caping yang sama pada halaman wedatama dan kita. Tokoh kita sekali lagi tergelitik mengutip-acak serat yang konon tulisan Mangkunegara IV itu; yang konon ditujukan untuk menggesek dengan cara halus tingkah generasi muda di jamannya.
Katungkul mungkul sami Bengkrahan mring Masjid Agung Tuman tumanem ing sepi Sepi asepa lir sepah samun Lumuh asor kudu unggul Sunggah sesongaran
Petilan di atas jika mengikuti terjemahan bebas goenawan mohamad menjadi;
Asyik masyuk beramai-ramai Pamerkan diri di Masjid AgungKeranjingan tertanam dalam sepiHampa, hambar, seperti sepah habis di kunyahTak mau kalah, harus unggullah
Pongah dan penuh bualan........alias verbalisme, simpul gugun kita. Semoga igauan tokoh kita tidak menjadi kekacauan tanpa pola. Sebab dalam pikirannya yang sempit tokoh kita masih menyisakan tempat bagi tanda tanya yang (mengutip kata seorang rekan dari surabaya) menumbuhkembangkan pengetahuan dan tempat bagi pola-pola kebetulan yang mungkin. Kebetulan itu menurut sepengetahuannya (yang picik) juga memiliki sejarah masa lalu (dan pola-pola tertentu) yang sangat panjang. Bahkan mungkin lebih panjang dari daya hidupnya sendiri. Kebunbungakita, 200503 Belalangtua
Kenapa tak singkat aja tuliskan bahwa kamu curiga parang dan golok itu satu jiwa satu raga.Aku terus terang aja,si golok itu pengagum sekaligus lawanku di dunia nyata.Begitu juga sebaliknya.Kami justru saling bantai sebelum melemparkan puisi terjelek kami kami ke ajang ini.Makanya takkan ada pertarungan sengit antara kami di ajang ini.Kami justru mencari siapa teman yeng mampu membantai puisi kami disini.Dan kami sepakat memakai login yang 'seru'.Bukankah jelas isyarat-isyarat yang kami sengaja telah membantumu mengenali keakraban kami?Setelah membaca tulisanmu diatas,aku yakin kamu cukup jenius seperti yang lain untuk mengenalinya.Satu lagi,Bel.Aku rasa tidak perlu seseorang harus membuat dua login untuk dirinya sendiri.Apalagi hanya untuk membantai.Jadi sekali lagi kauakui bahwa parang dan goblok eh,golok maksudnya adalah, teman sekaligus lawan.wong maen ke warnet juga bareng kok.
Tentang mengapa aku menyebut keabsurdan sebagai kekanak-kanakan itu karena keabsurdan adalah tahap awal bagi seniman yang bermain-main.Mengapa puisiku kok masih menyimpan bau kekan-kanakan itu?Karena aku pun dulu kanak-kanak yang bermain-main jua.Tapi aku belum tua lho.Tuaan kamu,Bel.Salahlah bila aku mengatakan pengalaman kanak-kanakku?Adakah aku melarang-larang kalian untuk berkarya?Justru aku menghindar dari kata-kata manis agar kalian tidak seperti semut yang merubung gula-gula pujian dan meninggalkan segala garam yang menyedapkan pengalaman kalian.Teruslah dengan karyamu,Bel.Akupun akan terus mengganggumu.Tidakkah kau sadari kau jauh berkembang sejak kehadiran dua jawara?Ha....hahaah..hahaaa.haaghh...uhgg...ueghhh.
Belalangtua:
ada pengandaian lebih sadis...satu tubuh tiga jiwa...ada juga 16 jiwa....sybill. lu mau bilang apa juga kagak bakal ngaruh ke gw. gw mau nulis panjang juga lantaran ada banyak kepentingan di dalamnya, dwig. lo, mustinya juga ikhlas (kayak klo lagi ngimamin jamaah waktu sembahyang) klo gw gak percaya perbedaan parang ama golok. di dalam tubuh yang beda terdapat jiwa yang sama hahahaha itu pemeo fasis dari jaman yunani. lo paling tau soal dongeng2 eropaan gitu, kan. sama-sama orang eksak, sama2 dr keputih, apalagi. aku kenal anak di sana namanya Dion dari kediri. Loe bener beda qt bisa sepuluh taunan. ciri kekanakan (keabisan stock cara ketawa) ngene le...cah bagus...nek absurditas mbok omong sebagai tahap awal bagi seniman yang bermain-main itu perlu penjelasan yang lebih bertanggung-jawab. sejarah tradisi literer dunia gak bilang kayak gitu...dan absurditas menjadi tema sentral karya-karya camus juga bukan hanya karena melihat perbedaan antara bahasa orangdewasa dengan bahasa anak-anak. persoalan absurditas musti kamu pahami dari berbagai sudut, bukan untuk menjadi absurd. setidaknya dengan begitu kamu menjadi lebih paham kenapa orang menjadi absurd, bunuh diri bisa terjadi bukan hanya beban persoalan seorang suami yang ditinggalkan isterinya dalam keadaan sakit2an dan menjadi tanggungan anak gadisnya yang belum lagi dewasa. korban/pelaku bunuh diri bisa saja melakukan perbuatannya itu karena barus saja dilewati seorang tetangga dengan sikap acuh-tak-acuh. ada dinding-dinding absurd, bunuh diri filosofis, jiwa absurd, tokoh-tokoh absurd, de-es-te. bener, loe selalu bedua ama trew. kemarin aku liat kalian di gramedia manyar. liat-liat gibran bener juga sepeninggal klian situs ini jadi rame. tapi jangan gede rasa dulu. itu gak cuman lantaran klian, klo pun ada yang minat ngomentarin klian selain aku, klo bukan dhjt yg ngerasa ada kepentingan ya orang-orang yang suka sok nyinyir. mending lu dateng ke depan unair, lu bisa nongkrong bareng yang laen. gak mungkin kan gw bawa-bawa mereka ke tempat lu. puisi ini paling akhir kutulis jauh sesudah tiga puisi yang barusan gw kirim. loe musti bersyukur juga gw masih mau ngomong kayak gini. banyak orang di dunia sastra lebih suka ngomong pake pasemon. ntar, gak ngamper lagi loe
Pengantar Menuju: Pengantar Menuju Sastra Bermanfaat
Dalam masyarakat Jawa bagian selatan dikenal ungkapan ter-teran semut. Ungkapan ini kerap muncul mengikuti peristiwa dimana seseorang yang sedianya mengantarkan orang lain juga minta diantarkan balik ke tempat semula. Begitulah kesan yang saya terima ketika saudara Ribut Wijoto (ia lulusan Sastra Indonesia) meminta saya untuk memberikan pengantar atas sejumlah esainya untuk dijadikan antologi yang kini ada di tangan anda.
Kemudian pikiran saya mulai disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutannya. Apakah maksud saudara Ribut Wijoto dengan permintaannya (yang setengah berbau intimadasi) ini? Saya bukan orang yang secara intens mengikuti perkembangan sastra, lebih-lebih perkembangan esai-esai sastra. Pengetahuan teknis saya mengenai esai sastra pun belum bisa dikatakan memadai, apalagi kalau harus memberikan komentar mengenai bentuk sastra paling rumit ini.
Setelah membisu dari pertanyaan-pertanyaan saya, yang dianggap sebagai interview, secara berbisik saudara Ribut Wijoto membuka sedikit maksud permintaan tersebut. Saudara Ribut Wijoto, kalau saya tak salah dengar, memang mengharapkan ada pendapat atas esai-esainya yang bukan berasal dari kalangan pemikir sastra. Ribut berharap, demikian sependengaran saya, adanya semacam variasi lain atas kajian terhadap esai-esainya, alih-alih kajian dari kalangan sastrawan dan ahli sastra. Dalam hal ini, Ribut ingin mendapat komentar dari orang yang pernah sedikit mengenal ilmu komunikasi. Ribut ingin esai-esai sastranya dikaji dari sudut pandang (baca; pandangan dunia, menurut versi penyair W. Haryanto) disiplin ilmu komunikasi.
Lalu dengan bagian mana dari ilmu komunikasi saya bisa membaca secara memadai atas karya-karya besar saudara Ribut Wijoto yang nyata-nyata jauh lebih mumpuni ketimbang saya ini. Mula-mula saya mengajukan tawaran untuk menyelipkan pandangan saya terhadap kejanggalan hubungan yang selama ini terjadi antara teori-teori yang berkembang pada ranah sastra dan ilmu komunikasi. Bukan pada gejala ketidakseimbangan kontribusi antar disipliner tersebut, melainkan pada perbedaan keselarasan keduanya dalam mengikuti perkembangan kajian pasangannya (jika keduanya diandaikan sebagai pasangan oposisi biner yang saling mengandaikan).
Dahulu, 5.000 tahun yang lalu, di sebelah timur Laut Mati ada sebuah desa, Bab elh-Dhra. Selama berabad-abad, desa ini menjadi persaingan musafir padang pasir, karena airnya yang terkenal. Kira-kira tahun 3.000 SM., beberapa keluarga pindah ke Bab elh-Dhra dan mendirikan perkampungan pertanian yang pertama. Ribuan tahun perkampungan ini berdiri sampai akhirnya hilang dari sejarah manusia. Yang tertinggal hanyalah petilasannya. Komunikasi, seperti Bab elh-Dhra, ramai dikunjungi bermacam-macam sarjana. Tetapi pada umumnya mereka hanya tinggal saja, seperti musafir padang pasir, lalu melanjutkan perjalanannya masing-masing, sebagaimana kata Wilbur Schramm selaku seorang tokoh studi komunikasi.
Kenyataan yang tak bisa dipungkiri, bahwa para pelopor ilmu komunikasi memang berlatar-belakang ilmu lain yang tertarik pada ilmu komunikasi; misalnya Harold Lasswell yang berasal dari dunia ilmu politik, Claude Shannon dan Warren Weaver yang ahli teknik (fisika), Paul Lazarsfeld yang sosiolog dan Wilbur Schramm yang ahli bahasa Inggris. Sejumlah teori dalam ilmu komunikasi juga dipinjam dari disiplin-disiplin lain. Teori S-R, Teori S-O-R, dan Teori Belajar Sosial Albert Bandura, sebenarnya dipinjam dari psikologi. Hipotesis Sapir-Whorf dalam komunikasi antar budaya awalnya dikemukakan oleh Edward Sapir dan muridnya Benjamin Lee Whorf yang sama-sama ahli linguistik. Persepektif dramaturgis Erving Goffman sebenarnya berasal dari teori sosiologi.
Dalam hubungan intimnya antara ilmu komunikasi dan ilmu sastra, nampak pada Studi Resepsi. Para teorisi komunikasi pada satu sisi melangkah dari perspektif kognitif yang berkaitan dengan proses interpretasi, organisasi informasi, dan pembuatan penilaian sastra sangat mengedepankan teori pemaknaan Osgood. Di sisi lain, analisis resepsi didasarkan pada sejarah perkembangan kritik sastra dan semiotika…setidaknya dalam estetika resepsi Jerman. Sementara, pada Studi Sastra sendiri telah berkembang perdebatan yang keras berkaitan dengan pemanfaatan analisis resepsi. Setidaknya, hal ini bisa dilihat pada kritik tajam Rene Wellek yang menganggapnya sebagai…hanya merupakan mode yang lewat begitu saja. Kritik tajam ini pun mengundang keberatan metodelogis terperinci. D. W. Fokkema dan Elrud Kunne-Ibsch yang bisa dilihat sebagai pembela analisis resepsi mengemukakan…bahwa pandangan yang berorientasi pada resepsi sudah dekat sebelum Rezeptionsasthetik diciptakan. Formalisme memainkan peranan penting dalam hal ini.
Paparan di atas menunjukkan betapa para ahli komunikasi kerap mengambil pijakan atas pemikiran berdasar rentang penelusuran yang terlalu dekat dan terkesan menyederhanakan (kalau tak bisa disebut dangkal atau naif). Sebaliknya, bidang studi lain (seperti sastra) pun tak kalah cerobohnya dalam menanggapi fenomena yang bersamaan menjadi bagian dari studi komunikasi.
Masih dalam kasus resepsi, Roman Jakobson menawarkan penggunaan model komunikasi teks sastra berdasarkan model teori informasi dan sibernetika Shannon-Weaver, sebagaimana kemudian dipopulerkan oleh para pakar Sastra di Indonesia melalui perkenalan mereka dengan tokoh ilmu sastra Rien T. Segers. Fenomena ini pun menunjukkan satu keyakinan yang naif, sebab model Shannon-Weaver dalam studi komunikasi sendiri telah dianggap tidak memadai karena sifatnya yang linier. Namun, teori resepsi di tangan para ahli sastra juga memberikan sumbangan yang berarti bagi pertumbuhan ilmu komunikasi, melalui pemilahan pembaca (audience).
Namun, sekali lagi saya bukan seorang pembaca yang ideal/ahli/kompeten dalam mengupas esai-esai sastra Ribut Wijoto. Lebih dari itu, tampaknya saudara Ribut Wijoto sendiri lebih suka jika saya menggunakan pendekatan Marshall McLuhan dan Quentin Fiore mengenai media. Menurut saya, pilihan sudut pandang pembahasan yang diberikan oleh Ribut Wijoto itu merupakan lompatan yang sangat jenial. Ribut Wijoto, setahu saya memang cukup jenial.
Pada tahun 1967, Herbert Marshall McLuhan dan Quentin Fiore membalikkan fokus perhatian ilmuwan komunikasi dengan salah satu konsepsi mereka yang populer sebagai berikut : the mediumis the message. Jika sebelumnya para peneliti lebih terfokus pada elemen komunikator dan komunikan sebagai unit analisis, sejak itu orang mulai tertarik pada implikasi teknologi (media) komunikasi terhadap sosial.
Seandainya saya membicarakan masalah komunikasi, maka anda akan mendengar tentang berbagai penemuan dari beberapa hasil penelitian yang concern terhadap fonomena teknologi komunikasi. Di samping berbagai penemuan mengenai pengaruh teknologi (media) komunikasi yang dilakukan secara diakronis di beberapa belahan dunia, juga terdapat studi yang hingga kini belum selesai; yakni, pengaruh teknologi (media) komunikasi terhadap pelbagai bentuk masyarakat.
Pada gilirannya berbagai penelitian tersebut makin meyakinkan bahwa media mempunyai nilai yang setara dengan informasi. Ketika orang memilih media tertentu, sebenarnya sulit untuk memastikan; apakah pilihan tersebut atas dasar pertimbangan kegunaan/manfaat (informasi). Ada kalanya pilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan nilai artistik atau atraktif media, nilai simbol status media sebagai benda, atau pertimbangan lainnya.
Fenomena media ini memang cukup menarik. Orang kerap mempermasalahkan perilaku media. Sejak tulisan ditemukan, media baru yang muncul sering disalahartikan. Seorang kakek dari zaman perjanjian lama dengan wajah bersungut-sungut mengingatkan anaknya; “Hati-hati Yakob, kalau kau melakukan itu terus, kau akan menjadi pelupa”. Di depannya si anak yang sudah mulai botak itu sambil meleletkan lidahnya dan terus tersenyum asyik menuliskan sesuatu di atas batu asbaknya. Sementara itu, seorang penjual minyak keliling saat bersandar pada pagar kampus B Unair dan menikmati kopi warung Mak Mursinah, mengeluhkan perbedaan kemampuan seorang siswa sekarang dengan siswa dari zaman dia pernah mengajar dulu. “Anak sekarang mana ada yang ininya,” ujarnya seraya mengetukkan jari pada keningnya sendiri, “cukup kuat kalau ditanya soal berhitung. Umumnya mereka tergantung sama kalkulator.” Kekurangan-pahaman (kalau bukan kesalah-pahaman) semacam ini, relatif sama dengan kurangnya pemahaman masyarakat pada makna komunikasi itu sendiri, beserta elemen-elemennya. Orang akan dengan mudah mengkaitkannya dengan teknologi telekomunikasi atau yang sedikit lebih paham akan menghubungkannya dengan jurnalistik ketika mendengar kata komunikasi. Sebuah kesalahan yang terlanjur parah. Bahkan, sebagian (besar) sastrawan/penyair kita masih mengidap kerancuan antara industri media dengan sistem media dan media itu sendiri. Sehingga menjadi wajar ketika seorang penyair yang akademis sekalipun dengan mudah melemparkan atas lemahnya apresiasi masyarakat terhadap sastra kepada media. “Kalau mau masyarakat kita punya apresiasi terhadap sastra, ya jangan salahkan penyair yang menciptakan karya. Media-media itulah yang seharusnya memberi ruang lebih banyak pada sastra…” Seru seorang penyair besar dalam sebuah diskusi yang bernafsu di Galeri Surabaya, DKS, beberapa waktu lalu.
Media menurut pandangan perspektif komunikasi merupakan satu bagian dalam rangkaian proses komunikasi yang menjadi saluran bagi penyampaian pesan. Dari batasan komunikasi yang paling primitif sekalipun keberadaan media menjadi vital dalam proses penyampaian pesan tersebut. Lasswell menyatakan dalam; who says what to whom in which channel with what effect. Formula yang dianggap sudah kadaluwarsa karena mengabaikan elemen feed back sehingga menunjukkan komunikasi sebagai proses “satu arah” ini pun menyarankan pentingnya channel/media dalam proses komunikasi.
Media, menurut saya berdasarkan perspektif komunikasi, bisa beragam bergantung bentuk komunikasi yang kita lakukan. Bentuk komunikasi itu bisa intrapesona, interpesona, kelompok, dan massa. Sebagian ahli komunikasi, seperti Paul Deutchmann, menyatakan adanya komunikasi yang menggunakan media dan yang tidak menggunakan media. Menurut saya ini pemahaman yang dangkal, karena kurang kejelian Deutchmann dalam mencermati elemen media ini. Paul Deutchmann dalam matriks bentuk komunikasinya memilah adanya private communication dan public communication. Kedua bentuk komunikasi tersebut dibagi kembali dalam bentuk bermedia dan tidak. Face to face communication menurut matriks Deutchmann bukanlah komunikasi yang bermedia, baik private maupun public communication.
Pemahaman bentuk komunikasi dalam matriksnya Dutchmann menjadi kacau ketika berhadapan dengan pernyataan McLuhan; the medium is the message. Jika menurut McLuhan nilai media sedemikian vital, tentu menjadi aneh jika kemudian Deutchmann mengabaikan peranan media dalam bentuk komunikasi tatap muka. Dalam artian yang lebih luas, matriks Deutchmann mengabaikan adanya udara sebagai saluran paling primitif, dan bahasa sebagai bentuk media paling primordial. Analogi yang paling sederhana untuk mengungkapkan soal udara dan bahasa sebagai channel dan medium paling dalam komunikasi tatap muka barangkali bisa diambil dari pengamatan kita terhadap kerja komputer.
Dalam satu wilayah yang memanfaatkan local area network, maka berbagai perangkat kabel dan modem bisa disejajarkan dengan posisi udara dalam bentuk komunikasi tatap muka. Seperti manusia, komputer juga memiliki tubuh berupa hardware dan sistem bahasa berupa program yang tercakup dalam softwarenya. Bahasa (program) sekalipun disebut sebagai perangkat lunak, namun jelas bahwa posisinya sama seperti bahasa bagi manusia yakni sebagai media komunikasi. Teks yang saat ini ada di tangan anda, pada saat penulisannya tidak akan berjalan lancar jika bahasa program yang digunakan untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri mengalami gangguan atau sama sekali belum diinstall. Memori sebagai gudang ingatan tidak akan menghasilkan apa pun jika berisi gagasan/pesan yang telah terkemas dalam bentuk bahasa.
Kadang anda merenung sambil nongkrong atau jongkok di atas lubang kakus, atau mencorat-coret kertas buat merencanakan masa depan anda, atau bermimpi, atau melakukan masturbasi; saat itu anda tengah berkomunikasi dengan diri anda sendiri. Komunikasi intrapesona seperti itu tentu sulit terjadi (jika bukannya tidak mungkin) kalau belum ada program bahasa tertentu yang telah diinstall oleh ibu dan masyarakat anda. Apa yang anda pikirkan, jika tidak mempunyai perangkat lunak untuk memikirkannya. Begitulah bahasa menjadi media yang paling primordial dalam komunikasi kita. Pun dapat kita jumpai pendapat Panuji Sujiman dalam bukunya mengenai stilistika yang menyinggung posisi media bahasa dalam proses komunikasi ketika linguist indonesia ini memberikan batasan atas wacana. Dikatakan bahwa; Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasa tulisan.
Berdasarkan paparan di atas, saya berharap bahwa relasi antara bahasa (dan sastra) dengan komunikasi serta kesetaraan nilai antara media dan pesan bisa menjadi lebih jelas. Panjang dan berbelit memang itulah sebabnya saya menganggap bahwa saudara Ribut Wijoto ini sosok yang jenial, lompatan-lompatan pemikirannya kadang sulit dipahami, terutama oleh orang-orang yang masih tergolong awam seperti saya ini.
Saya mengenal saudara Ribut Wijoto sekitar pertengahan 1995. Ketika itu Ribut sedang getol-getolnya berteater dan bersastra. Saya sempat menonton pementasan di DKS yang menampilkan penampilan ketrampilan Ribut berputar-putar mengelilingi rekannya yang berkelojotan, sambil dia sendiri membawa air mineral dalam gallon. Dalam pertemuan berikutnya, di sebuah warung, saya sempat bertanya; “apakah sudah benar-benar siap…memasuki dunia kesenian dan sastra?” Waktu itu dengan anggukan pasti Ribut menyahut, “Ya, harus siap mas.”
Waktu itu secara ceroboh saya meragukan ketahanan Ribut di dunia kesenian yang menurut saya pribadi sangat mewah dengan keangkuhan dalam kemiskinannya. Seorang mahasiswi pernah memprotes sengit kepada saya; “jangan larut ke dalam sikap hidup absurd.” Weh, pikir saya, kesenian macam apa yang tidak pernah didasari sikap hidup absurd dan absurditas. Totalitas pekerja seni yang tidak berserah diri pada sikap absurd akan mudah dibelokkan ke arah pragmatisme gaya hidup yang makin meraja ini.
Saya anggap bahwa keraguan saya dulu adalah sebuah kecerobohan, karena ternyata Ribut Wijoto masih bertahan di dunia sastra. Selamat Ribut, anda telah menjalani segala kegilaan ini. Saya pun merasa kagum dengan lompatan-lompatan pemikiran Ribut yang menunjukkan besarnya tekad Ribut untuk berkembang. Lompatan-lompatan pemikiran Ribut ini juga bukan hal yang ada begitu saja. Esais besar ini telah pula menjalani lompatan-lompatan karir yang cukup menarik.
Awal kuliahnya waktu Ribut selain kuliah adalah aktivitas SKI dan Teater Gapus. Belakakangan SKI mulai ditinggalkan, tapi tradisi menyebut orang yang sedikit lebih tua dengan sebutan Pak dan Bu masih sulit ditanggalkan. Teater Gapus kemudian menumbuh-suburkan minatnya pada sastra, maka sambil berteater mulailah dia menulis cerpen. Saya sempat diberi tunjuk antologi puisi pribadinya yang dicetak dan diterbitkan sendiri, saya tidak ingat kapan pastinya, saudara Ribut Wiojoto mengkususkan diri sebagai penulis esai.
Sekali lagi, saya mengatakan, bahwa saya bukan seorang pembaca ahli/idela/kompeten untuk membaca dan pada gilirannya memahami serta membahas esai-esai saudara Ribut Wijoto ke hadapan anda. Ketika saudara Ribut memberikan bocoran bahwa tulisan-tulisannya ini bukanlah kritik sastra melainkan esai sastra, maka saya pun segera menyetujuinya. Saya pun akan kewalahan kalau dalam kurun waktu singkat harus memahami sekian banyak tipe kritik sastra, mulai dari kritik judisial sampau kritik baru. Belum lagi ketika harus memasuki tiap teks sastra Ribut ke dalam kategorisasi tersebut. Ini merupakan kelemahan yang sudah saya duga, tapi saya berjanji I will serve you better. Pilihan penyebutan karyanya sebagai esai oleh Ribut ini juga mengandung niali realitas; sebagaimana bentuk esai sendiri yang berada di antara yang idealis dan yang obyektif.
Dari mula menuliskan catatan saya ini, saya sudah lebih dulu memilih untuk membahas retorika bahasa esai sastra Ribut. Retorika yang saya maksud di sini ialah bentuk atau model berpikir untuk menyampaikan maksud yang dikehendaki. Dengan demikian, retorika pada dasarnya bersangkut-paut dengan apa yang terjadi dalam pikiran kita, bukan dengan apa yang sekedar keluar dari mulut kita. Retorika dalam hal ini pun bisa berkaitan dengan faktor-faktor analisis, pengumpulan data, interpretasi, dan sintesis. Robert B. Kaplan pada tahun 1980 mengajukan pandangan menarik terkait dengan retorika bahasa berdasarkan temuan-temuan pakar antropologi budaya. Kaplan mengingatkan bahwa tindakan obyek tertentu dipersepsi dan dimaknai secara berbeda sesuai nilai-nilai budaya yang melekat pada perilaku budaya tersebut. Lebih jauh Kaplan menyatakan bahwa persepsi dan pemaknaan pada gilirannya juga bergantung pada kerangka referensi pelakunya.
Perihal kerang referensi dan peranannya dalam komunikasi bisa diperhatikan pada model komunikasi Wilburr Schramm yang menyatakan bahwa semakin besar singgungan antara kerangka referensi dan lahan pengalaman antara dua orang yang sedang berkomunikasi maka semakin besar kemungkinanya untuk terjadinya kesamaan paham dan pemahaman; komunikasi berarti proses membagikan paham yang sama.
Menyangkut masalah retorika yang sifatnya sangat kontekstual itu, Kaplan menenggarai adanya empat tipe utama retorika bahasa. Pertama; retorika model Anglo-Saxon yang berkembang dengan cara berpikir Plato-Aristotelian dan kemudian dianut oleh para pemikir dari dunia Barat sejak zaman Yunani Kuno, Romawi, Abad Pertengahan, Renaisance, sampai sekarang. Retorika model ini bersifat linier, tercermin pada cara organisasi pengembangan gagasan paragraf. Dalam wujud yang lebih besar, komposisi atau esai misalnya terdapat pada bagian awal suatu komposisi. Kemudian diikuti verifikasi dengan penjelasan yang lebih rinci pada peragraf-paragraf penunjangnya.
Kedua; retorika model semitik, yang umumnya berkembang dari budaya Arab-Persia. Model ini ditandai dengan adanya penggunaan paralelisme berlebihan. Sehingga berlebihan pula penggunaan kata ‘dan’ dan kata ‘tetapi’. Sehingga jumlah kalimat majemuk setara jauh lebih besar daripada jumlah kalimat kompleks yang bertingkat.
Ketiga; retorika model Asia, termasuk yang berkembang dalam budaya Indonesia. Tipe ini ditandai dengan cara berpikir yang tidak langsung kepada inti persoalan. Retorika bahasa model Asia melihat masalah inti dari beberapa sisi secara tidak langsung.
Keempat; retorika model Franco-Italia, termasuk Spanyol. Dalam model ini terdapat banyak penyimpangan dengan pemakaian kata-kata berbunga-bunga yang kadang tidak menyentuh masalah intinya. Model ini terkadang terdengar puitis.
Dari sepuluh esai Ribut Wijoto umumnya memiliki bentuk retorika bahasa linier. Mulai dari “Gaya Barok pada Puisi Indonesia” yang merupakan esai pada awal penulisan esai Ribut sampai dengan “Gramsci dan Kerangka Kerja Sastra” terdapat hubungan langsung antara pernyataan tesis yang dinyatakan secara jelas dan ide-ide pendukungnya. Pernyataan tesis biasanya terdapat pada paragraf awal. Pernyataan itu biasanya didahului oleh beberapa pernyataan lain yang sifatnya sangat umum dan lazimnya merupakan latar belakang dari masalah inti yang dibahasnya. Pada esai “Perlawanan Karya Sastra” tampak bagaimana Ribut mendahulukan paragraf-paragraf pendahuluan sebagai latar belakang masalah intinya yang terletak pada paragraf ke-7. Pola formulasinya bergerak dari yang paling umum ke arah yang paling khusus sampai diangkat kembali kepada tradisi sastra dan kemudian ditutup dengan pertanyaan-pertanyaan kunci tesisnya.
Pada awal atau akhir esai letak tesis dinyatakan yang jelas terdapat hubungan yang jernih antara pernyataan tesis dan gagasan-gagasan penunjangnya. Pertanyaanya kemudian, bagaimana bisa Ribut yang orang Indonesia menggunakan model linier yang identik dengan retorika barat? Hal ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh pendidikan formal yang menjejali kita dengan gaya lurus penyampaian gagasan ala barat. Pengaruh budaya bangsa Asia nyaris tak terlihat dalam model retorika bahasa esai-esai Ribut Wijoto. Kalau pun ada pengaruh model budaya Arab-Persia maka hal itu hanya muncul dalam wujud penggunaan secara berlebihan pada kata atau frase yang menggabungkan sekaligus dua wilayah yang berbeda; seperti, dipertaut-tengkarkan, bertukar-tangkap dengan lepas.
Perkecualian, barangkali, terlihat pada “Tawaran Estetika Cerpen Koran”. Pada esai ini Ribut berusaha menggunakan gaya penulisan Caping-nya Goenawan yang cenderung tidak langsung ke inti persoalan. Dalam esai tersebut terdapat hubungan yang jelas antara cerpen dan koran pada paragraf awalnya, namun tesis mengenai tawaran estetika cerpen koran itu sendiri muncul sebagai kesan-kesan yang kabur. Bahkan sekalipun bentuk penulisan Caping-nya Goenawan sempat diangkat dalam esai ini sebagai bentuk tulisan yang cerdas, namun tidak serta merta memberikan pengaruh kecerdasan yang setara pada esai ini sendiri. Atau barangkali memang begini adanya esai koran sesuai dengan penerimaan Ribut Wijoto pada tradisi sastra—khususnya cerpen—koran seperti yang kemudian dicetuskan pada bagian akhir esai.
Selain persoalan retorika bahasanya yang linier, esai-esai Ribut umumnya mengandung bayak percikan gagasan yang kadang jatuh hanya sebagai klaim. Pada “Gaya barok pada Puisi Indonesia”, klaim munculnya gaya Barok pada dunia perpuisian Indonesia aganya tidak terlalu meyakinkan bagi Ribut sendiri. Klaim itupun kemudian bersembunyi pada mantra atavisme universal. Seperti Sutardji yang dikutip dalam esai ini rupanya Ribut ingin menggunakan teknik mantra pada klaim-klaimnya. Setelah melalui perjuangan yang bertele-tele rupanya saudara Ribut tidak mengakhiri esai “Gaya barok pada Puisi Indonesia” ini dengan memberikan contoh yang jelas. Puisi manakah yang bergaya barok itu, tidak jelas.
Cukup banyak hal yang bisa ditarik sebagai pelajaran berharga dari pembicaraan atas esai-esai Ribut Wijoto. Masih banyak yang tersisa, saya yakin, misalnya saja ketegangan pemikiran yang saling berdesakan dalam benak Ribut ketika menuliskan esai-esainya, kegagapan Ribut terhadap hal-hal baru di luar sastra, keraguan, kecemasan, dan sebagainya. Namun, sekali lagi, sebagaimana Ribut banyak bersembunyi dalam mantra-mantra pemikiran tertentu dan karena saya menganggap bahwa Ribut telah memberikan sejenis pencerahan dalam khazanah “Kesusastraan”, saya pun turut suka bersembunyi pada ajimat sebuah teks selalu sebuah pengantar bagi teks lain. Lebih-lebih jika teks ini adalah pengantar menuju pengantar sastra yang bermanfaat, tentu ungkapan jiwa selatan itu terdengar lagi…”ter-teran semut”.
aku hidup di negeri hantu*
tak percaya adalah hujan batu
ke arahku dan selamanya ular
dihujat sebagai penghujat
dirajam malam kegilaan
dilarung dalam kapal-kapal
ke luar pulau karang
bersandar pada hantu
aku menjaga mata dalam buta
menjemput maut dalam gila
*meminjam sebuah lagu seorang teman
c a t a t a n a n g
i n
Surgaku
adalah air yang mencurahkan bening. Buih-buih pertama yang lafasnya
nafas pupus daun dengan anggur, kopi dan mimpi mabuk sendiri
Surgaku masih kamar kecil yang lembab penuh asbak, abu dan lumut.
Tanpa selembar rambut
pun menyeberanginya. Aku telah bersaksi kepadamu tentang surga dan dia
yang sempat terlupa. Angin yang bergasing telah mematahkan
tulang-tulang rusuknya demi seutas nafas hantu ular belang