<$BlogRSDUrl$>
 
 
[ essay angin ]

wajahangin  :  sajak  :  geguritan  :  features&news  :  essay  :  cerpen  :  email
 
Sunday, September 14, 2003
 

 

Pola-Pola Kebetulan

Serupa Sunyi
kesunyian adalah surga terbelah
di kelangkang ibu, mengucurkan deras
puting susu dan lendir menggumpal
dari kerongkong gasangku
serupa ponten paling akhir
dimana aku hanya berhadapan bayangan
busukku, menghitung tiap kepeng wang
di kantung gombalku
kau boleh lempari aku
batu, belati atau tai
tapi jangan puisi softex
atau sajak beludak
sebab di situ tanganmu mewujud
gelembung-gelembung kosong
yang selalu melolong – menceraikan
telingaku dari lampu-lampu
jalan – dan kakimu tak tercerna
perut dengan lembut
kecuali membuat sembelit
tanpa jeda
sirami dengan segantang arak
paling tua atau anggur
tapi aku pilih air sumur
sebab ketulusannya melebihi
kisah para rasul yang bisa
kau tadwijkan
kesunyian serupa ponten
dan malaikat-malaikat kehilangan sayap
sejak aku terpaku oleh cintamu
pada perut dunia
dan kelangkang
bisu
052003
Juga pagi itu dia bangun dengan rasa yang sama, bahwa dia akan bertemu dengan bekas isterinya di salah satu tikungan kota ini. Entah, tikungan mana...(sebuah kutipan mentah dari mula ziarah iwan simatupang).

Begitu pun ketika dia pergi ke sebuah warung suram bernama cybersastra, di situ dia berharap bakal menemukan bekas isterinya yang telah mayat itu teronggok di salah satu tikungannya.

Sebuah kebetulan jika kemudian dia menuliskan sebuah komentar mengenai karya dari salah seorang rekan penyair kita yang terhormat. Tanpa mengurangi rasa hormat pada beliau di sini kita berniat untuk tidak menuliskan nama penyair terhormat kita tersebut. Secara kebetulan tokoh kita menuliskan komentarnya dalam bentuk seperti berikut ini:

“gebalau dingin suara-suara samun itu menggigir di tubir-tubir ruhku lewat pecahan cahaya yang leleh dari kelamin para penyamun. dikangkangi lelaki yang menjelma bapak di tikungan selindap pertigaan itu aku hanya bisa mengerakkan korek merah jambu dalam permainan farji gaun pengantin ibu. di langit yang membius dengan seribu rimbun rambut-rambut lembut dari telapak nganga aku dimuntahkan oleh anjing berdarah pisau lipat berlapis mantra penjinak zakar bergelibatan antara tiang-tiang bendera. aku lumer serupa setan-setan mungil berloncatan dalam hasrat mengatasi ketakutan habsi, menanting gumpalan kapas bersarung sutra piningit. antrian kucing pasar seperti ingin merayakan kelahiranku dengan onani bersama teriring madah kelana syair-syair berdarah dan sunatan masal. tak ada tuhan yang bersamadi melebihi lendir dan kilatan-kilatan sisikku. bulan pucat, menyimpan cemburu yang lurus pada surat-surat kawat. padahal selalu ada hati untuk pemesan jantung dalam pesta tempik setan-setan berjubah keniscayaan. semoga jalan-jalan tak lagi berlari saat tanganku turun dan menjejalkan pecahan botol kosong di gelambir susu ibu dan terkeratlah kertak tulang selangkamu oleh bias semburan nafasku yang lembur rangkai anusmu seperti lukisan-lukisan telinga patah berbalut kedunguan cantik dari negeri kincir angin. meski angin tak akan pernah lewat untuk sekedar melepas pemberangkatanmu menuju tonggak-tonggak paloma kita yang nyeringai angkuh. mari masuk ke rangka rengat dan karatku, maka kau akan temui wujudmu yang paling kasim

Cukup lama komentar tokoh kita, lelaki yang selalu mencari mayat isterinya ini, tidak mendapatkan tanggapan. Kemudian tanggapan itu justru datang dari essays kita dengan cara mempersandingkan puisi sang panyair dengan komentar tokoh kita; satu begini dan satu begitu. Dalam tanggapan itu seolah-olah komentar tokoh kita telah hadir sebagai puisi yang lain, alih-alih sebagai kritik. Pada gilirannya, seorang lain dengan cara lain membubuhkan opini dalam bentuk larik-larik puisi, entah apakah seorang yang ini pun menujukan tulisannya sebagai puisi sendirinya atau sebagai kritik tak pelak lagi, barisan komentar tersebut di atas segera mengundang masuknya seorang lain yang mengaku sebagai jago silat (lidah). Layaknya olahragawan, jago silat kita pun bergegap gempita melmparkan segala kegundahannya pada bentuk-bentuk komentar yang menurutnya bersifat pamer; satu lagi anak Dynosian, tulisnya.

Kali pertama membaca tulisan pendekar ini, tokoh kita pun mengernyitkan dahi. Apa arti Dynosian? Pada siapa kata itu ditebas-sabetkan oleh pendekar kita? Dengan kernyit dahinya tokoh kita pun kemudian melihat ruang-minum-bersama lain yang kebetulan dipajani puisi tokoh kita yang serupa sunyi;

Dalam ruang-minum-bersama di bawah pajanan puisi ini pun muncul tulisan cukup panjang lebar yang menyebutkan penandaan sifat absurd dalam puisi tersebut di atas dengan penjelasan bahwa hal semacam itu adalah pikiran kekanakan. Tokoh kita mengernyitkan dahi, sekali lagi, atas usaha keras pendekar kita ini. Tokoh kita bingung lagi, bahwa ternyata puisinya mengandung ciri absurd. Pencari mayat isterinya itu pun menggali lebih dalam tentang maksud dari yang absurd ini.

Menggelikan, bahwa kemudian suasana berkembang sangat cepat dan panas. Lebih mirip olok-olok jaman tokoh kita kanak-kanak. Ironisnya, dalam salah satu fase dari rally tanya-jawab ini muncul juga sebutan tokohkitakanak-kanak dan tokohkitabayi. Bahkan, dalam ruang-minum-bersama lain yang merupakan wilayah kritik untuk puisi seorang jawara lain (yang baru masuk mendaftarkan diri beberapa menit di tengah pesta selamatan tanya-jawab tokoh kita dengan pendekar kita, yang juga memiliki gaya salam jurus pembukaan dan akhiran yang mirip) pun muncul penyebutan tokohkitaisteri. Dalam ruang-minum-bersama tempat puisi jawara kita pun terdapat semacam perkenalan antara pendekar dan jawara. Menarik, menarik.

Pun menarik ketika pendekar kita, setelah beberapa saat menghilang tanpa permisi dari arena pertanya-jawaban itu, muncul lagi dan bertanya-tanya heran(?) tentang tradisi penulisan di buku tamu warung kita. Pada saat tokoh kita menyaksikan tanda-tanda pendekar kita di buku tamu sudah tidak tampak lagi kedua tokoh dunia persilatan itu, baik pendekar maupun jawara. Padahal, jauh sebelumnya tokoh kita telah dengan menebahdada mengundang pendekar itu bersilaturahmi di buku tamu. Betapa elok lenggang kangkungnya seorang pendekar yang merasa baru bertandang kemudian telah secara lihai berjumpalitan di ruang-minum-bersama tanpa lebih dulu (setidaknya) menengok buku tamu. Begitukah nampaknya kedewasaan (antitesa dari ciri absurd yang kekanakan seperti tulisnya) yang ingin dipertontonkan oleh pendekar kita di hadapan sidang, tokoh kita masih bekernyit dahi.

Dalam kernyit dahinya yang nujum tokoh kita mengambil sikap diam untuk sementara. Apalagi, penyair kehormatan kita yang semula diam dari ruang-minum-bersama (symposium) turut suka mengunci ruang tersebut dengan rasa keterusikannya pada model kritik tokoh kita dan pemilik opini pola larik.

Pada hawa mengawang-awang dilambung rasa geli ini, secara kebetulan, tokoh kita menjilati dengan leler matanya yang buta sebuah buku ganjil bertajuk catatanpinggir alias caping gugun atawa gm. Pada salah satu lembaran daun (ron) talnya, tersebutlah kisah mengenai pameran. Dalam larik-larik kalamnya terbetik isyarat bahwa pameran berasal kata pamer yang bersumber dari bahasa jawa. Pamer dalam khasanah bahasa jawa sendiri telah berabad-abad dianggap sebagai tindakan yang kurang tata. Namun gugun pun mengimbuhkan, pada gilirannya, bahwa pamer. Dalam arti tertentu, kita tak tinggi hati. Kita tak merasa bahwa kitalah yang mereka butuhkan. Tokoh kita kemudian mengingat pada telaah pendekar itu bahwa seolah-olah telah terjadi pameran di ruang-minum-bersama puisi penyair kehormatan kita. Tokoh kita eling (ingat; jawa) pada sebaris kalimat, satu lagi anak Dynosian (belakangan seorang kritikus handal dari kawasan gapus menjawab; itu seperti nama tokoh dalam mitologi yunani...oooo, yunani.)

Dalam kisah penjilatan caping yang kebetulan itu pun tokoh kita menjumpai halaman sehabis peperangan. Bagian ini mengingatkan tokoh kita pada rally pertanya-jawaban dengan sang pendekar yang dirasanya begitu menekan dan menyiksa, bukan karena dia merasa kalah atau dikalahkan. Namun kiranya menarik kita simak dulu kutipan mentah-terpenggal-penggal dari halaman sehabis perang itu, silakan;

Apakah arti kemenangan? Setelah kurawa dikalahkan, medan perang Kuru tinggal lapangan penuh bangkai. Bau busuk terbentang. Rasa cemar terapung ke kaki langit. Ribuan anjing ajak melolong, mengaum, mengais. Selebihnya Cuma erang sekarat para prajurit, di antara sisa kereta dan senjata yang patah.

Warna di sana hanya darah. Anyir. Tak akan ada lagi perbuatan kepahlawanan.

Si pemenang, kelima bersaudara Pandawa, telah merebut istana yang kini sepi. Mereka pun membisu capek memandangi balairung yang lengang. Apa, setelah ini? Akan apalagi?

Satu soal selesai, soal lain timbul.

Barangkali karena itulah Bhagawatgita, dialog antara Kresna dan Arjuna di ambang pertemuan besar di Kuru itu, menyebut tyaga. Yakni; sikap melepaskan diri dari kehendak memperoleh buah dari kerja. Siap yang menghendaki buah akan cepat kecewa. Buah itu akan busuk. Tapi sikap yang menjalankan kerja seraya tak terseret oleh hasrat itu ia akan benar-benar bebas, bahagia, dan lurus.

Yudhistira, orang yang lurus itu, bersedih ketika perang selesai dan kemenangan berada di tangannya. Kita bayangkan dia berjalan malam itu di lorong-lorong istana Astina yang baru saja ia rebut. Tiang-tiang perkasa Balustrada yang luas. Relung-reling yang mencekam. Lampu-lampu yang sayup, gemetar oleh angin, seperti ketakutan oleh kekuasaan, keangkuhan, dan keagungannya. Mengapa manusia harus memburu-buru kejayaan itu dan memperebutkannya dengan habis-habisan.

Mengenai bentuk tulisannya terhadap puisi penyair-kehormatan-kita yang oleh sebagian orang dianggap sebagai puisi yang lain itu, menurut tokoh kita, hanya soal darimana kita melihatnya. Seperti perumpamaan yang diberikan slamet rahardjo dalam diskusi seusai pementasan monolognya pada pembukaan Festival Seni Surabaya, yakni perihal pertengkaran antara seorang ibu dengan anaknya karena soal jumlah telur yang digoreng, masalahnya kembali ke soal darimana kita melihatnya. Darimana point of view kita arahkan.

Perihal kawan penyair-kehormatan-kita yang merasa kebakaran jenggot atas bentuk opini tokoh kita dan pemberi-opini-pola-larik, maka tokoh kita hanya bisa mengingatkan tentang perspektif dan point of view tersebut. Juga ketika penyair kehormatan kita menyebutkan perlu tidaknya menulis puisi dalam buku tamu, tokoh kita hanya mengingat pedomannya pada tradisi penulisan buku tamu di warung kita sebelum ini. Bahkan dalam satu kesempatan seorang rekan pernah menuliskan semacam essay di sana. Hal ini barangkali karena munculnya ketidakpuasan atas kecepatan tayang-langsung pada gallery-gallery di warung kita tercinta.

Perihal etika yang dipersoalkan oleh sang penyair dalam kunci penutupnya, tokoh kita merasa perlu belajar lagi membedakan etiket dan etika. Ini seperti perbedaan antara nevolet dan novel, jumut namun ada. Pembicaraan tentang etika, jika itu memang substansi persoalan yang ingin diajukan oleh sang panyair kehormatan kita, tentunya akan mengundang kita memasuki wilayah pilsyahwat. Sedikit ingatan tokoh kita yang lapuk mengembalikannya pada pertanyaan-pertanyaan asali dari lapangan pilsyahwat. Logika menanyakan (misalnya) apakah hukum-hukum penyimpulan yang lurus itu? Metodologi; apakah teknik-teknik penyelidikan itu? Metafisika terdiri dari dua yakni; ontologi dan kosmologi. Ontologi; apakah kenyataan itu? Kosmologi; bagaimanakah keadaannya sehingga kenyataan itu dapat teratur? Epistemologi; apakah kebenaran itu? Biologi kefilsafatan; apakah hidup itu? Psikologi kefilsafatan; apakah jiwa itu? Antropologi kefilsafatan; apakah manusia itu? Sosiologi kefilsafatan; apakah masyarakat dan negara itu? Etika; apakah yang-baik itu? Estetika; apakah yang-indah itu? Filsafat agama; apakah yang-keagamaan itu?

Atas gugatan sang-penyair-kehormatan-kita, maka tokoh kita merasa sangat bersyukur bahwa masih mampu membedakan dimana letak Etika dan dimana wilayah Estetika. Pada wilayah estetika, persoalan yang digemari tokoh kita tentu saja masalah keindahan, yang barangkali hadir dalam beragam bentuk yang tak pula harus mengikuti tradisi penulisan tiap jenis lahan estetika yang pernah ada. Sebab tanpa rasa bebas semacam itu maka chairil tak akan membongkar tradisi penulisan balai pustaka dan pujangga baru, juga kredo tardji tak akan dianggap sebagai pembaruan. Tanpa itu jenis-jenis ragam estetika (sastra misalnya) tak akan mengalami pembaruan dan perkembangan.

Mengenai absurditas yang oleh sang pendekar dianggap sebagai pandangan kekanakan, tokoh kita hanya bersyukur bahwa dia masih sanggup menikmati indahnya pemandangan sikap hidup absurd, dinding-dinding absurd, dan pemberontakan kaum absurd dalam pemikiran-pemikiran albert camus. Mengenai absurditas yang dilihat sang pendekar ada dalam opini dan puisi tokoh kita, pun mengingatkannya pada keangkuhan dunia pemaknaan yang telah menjadi tunggal dan rigid seperti tersebut. Padahal, puisi (teks) memiliki makna yang lebih luas dari sekedar satu kacamata (kuda) serupa reduksi kaum ilmuwan, fenomenolog, filsuf, maupun kritikus sendiri. Kritik dan puisi berada dan mengada dalam ranah kehidupan yang berbeda, saling mengadakan sekaligus saling meniadakan. Kalaupun puisi tokoh kita dianggap terlalu gelap atau (mendekati) surealistik maka dia pun bersyukur bahwa riwayat teks (estetika) surealis berliku cukup panjang sampai ke jaman sigmund freud menyatakan perlunya resistensi bagi manusia neurotik agar terbebas dari patologi yang dialaminya.

Begitulah kadang ingatan tokoh kita bisa mampir kemana-mana seperti seorang pelancong yang senantiasa berusaha menikmati persinggahannya. Juga kali ini dia ingat dengan rasa yang sama atas pembicaraan dalam caping yang sama pada halaman wedatama dan kita. Tokoh kita sekali lagi tergelitik mengutip-acak serat yang konon tulisan Mangkunegara IV itu; yang konon ditujukan untuk menggesek dengan cara halus tingkah generasi muda di jamannya.

Katungkul mungkul sami
Bengkrahan mring Masjid Agung
Tuman tumanem ing sepi
Sepi asepa lir sepah samun
Lumuh asor kudu unggul
Sunggah sesongaran

Petilan di atas jika mengikuti terjemahan bebas goenawan mohamad menjadi;

Asyik masyuk beramai-ramai
Pamerkan diri di Masjid AgungKeranjingan tertanam dalam sepiHampa, hambar, seperti sepah habis di kunyahTak mau kalah, harus unggullah

Pongah dan penuh bualan........alias verbalisme, simpul gugun kita. Semoga igauan tokoh kita tidak menjadi kekacauan tanpa pola. Sebab dalam pikirannya yang sempit tokoh kita masih menyisakan tempat bagi tanda tanya yang (mengutip kata seorang rekan dari surabaya) menumbuhkembangkan pengetahuan dan tempat bagi pola-pola kebetulan yang mungkin. Kebetulan itu menurut sepengetahuannya (yang picik) juga memiliki sejarah masa lalu (dan pola-pola tertentu) yang sangat panjang. Bahkan mungkin lebih panjang dari daya hidupnya sendiri. Kebunbungakita, 200503 Belalangtua



PARANG:


ha...ha...haa...hahaaahhaghh hahhgh...ughk...uekhg
panjangnya tulisanmu,bel.

Kenapa tak singkat aja tuliskan bahwa kamu curiga parang dan golok itu satu jiwa satu raga.Aku terus terang aja,si golok itu pengagum sekaligus lawanku di dunia nyata.Begitu juga sebaliknya.Kami justru saling bantai sebelum melemparkan puisi terjelek kami kami ke ajang ini.Makanya takkan ada pertarungan sengit antara kami di ajang ini.Kami justru mencari siapa teman yeng mampu membantai puisi kami disini.Dan kami sepakat memakai login yang 'seru'.Bukankah jelas isyarat-isyarat yang kami sengaja telah membantumu mengenali keakraban kami?Setelah membaca tulisanmu diatas,aku yakin kamu cukup jenius seperti yang lain untuk mengenalinya.Satu lagi,Bel.Aku rasa tidak perlu seseorang harus membuat dua login untuk dirinya sendiri.Apalagi hanya untuk membantai.Jadi sekali lagi kauakui bahwa parang dan goblok eh,golok maksudnya adalah, teman sekaligus lawan.wong maen ke warnet juga bareng kok.

Tentang mengapa aku menyebut keabsurdan sebagai kekanak-kanakan itu karena keabsurdan adalah tahap awal bagi seniman yang bermain-main.Mengapa puisiku kok masih menyimpan bau kekan-kanakan itu?Karena aku pun dulu kanak-kanak yang bermain-main jua.Tapi aku belum tua lho.Tuaan kamu,Bel.Salahlah bila aku mengatakan pengalaman kanak-kanakku?Adakah aku melarang-larang kalian untuk berkarya?Justru aku menghindar dari kata-kata manis agar kalian tidak seperti semut yang merubung gula-gula pujian dan meninggalkan segala garam yang menyedapkan pengalaman kalian.Teruslah dengan karyamu,Bel.Akupun akan terus mengganggumu.Tidakkah kau sadari kau jauh berkembang sejak kehadiran dua jawara?Ha....hahaah..hahaaa.haaghh...uhgg...ueghhh.



Belalangtua:


ada pengandaian lebih sadis...satu tubuh tiga jiwa...ada juga 16 jiwa....sybill. lu mau bilang apa juga kagak bakal ngaruh ke gw. gw mau nulis panjang juga lantaran ada banyak kepentingan di dalamnya, dwig. lo, mustinya juga ikhlas (kayak klo lagi ngimamin jamaah waktu sembahyang) klo gw gak percaya perbedaan parang ama golok. di dalam tubuh yang beda terdapat jiwa yang sama hahahaha itu pemeo fasis dari jaman yunani. lo paling tau soal dongeng2 eropaan gitu, kan. sama-sama orang eksak, sama2 dr keputih, apalagi. aku kenal anak di sana namanya Dion dari kediri. Loe bener beda qt bisa sepuluh taunan. ciri kekanakan (keabisan stock cara ketawa) ngene le...cah bagus...nek absurditas mbok omong sebagai tahap awal bagi seniman yang bermain-main itu perlu penjelasan yang lebih bertanggung-jawab. sejarah tradisi literer dunia gak bilang kayak gitu...dan absurditas menjadi tema sentral karya-karya camus juga bukan hanya karena melihat perbedaan antara bahasa orangdewasa dengan bahasa anak-anak. persoalan absurditas musti kamu pahami dari berbagai sudut, bukan untuk menjadi absurd. setidaknya dengan begitu kamu menjadi lebih paham kenapa orang menjadi absurd, bunuh diri bisa terjadi bukan hanya beban persoalan seorang suami yang ditinggalkan isterinya dalam keadaan sakit2an dan menjadi tanggungan anak gadisnya yang belum lagi dewasa. korban/pelaku bunuh diri bisa saja melakukan perbuatannya itu karena barus saja dilewati seorang tetangga dengan sikap acuh-tak-acuh. ada dinding-dinding absurd, bunuh diri filosofis, jiwa absurd, tokoh-tokoh absurd, de-es-te. bener, loe selalu bedua ama trew. kemarin aku liat kalian di gramedia manyar. liat-liat gibran bener juga sepeninggal klian situs ini jadi rame. tapi jangan gede rasa dulu. itu gak cuman lantaran klian, klo pun ada yang minat ngomentarin klian selain aku, klo bukan dhjt yg ngerasa ada kepentingan ya orang-orang yang suka sok nyinyir. mending lu dateng ke depan unair, lu bisa nongkrong bareng yang laen. gak mungkin kan gw bawa-bawa mereka ke tempat lu. puisi ini paling akhir kutulis jauh sesudah tiga puisi yang barusan gw kirim. loe musti bersyukur juga gw masih mau ngomong kayak gini. banyak orang di dunia sastra lebih suka ngomong pake pasemon. ntar, gak ngamper lagi loe
 

# berhembus waktu 6:55 PM : []

 
 
 
 
 s a n g  a n g i n


negeri hantu

aku hidup di negeri hantu*
tak percaya adalah hujan batu
ke arahku dan selamanya ular
dihujat sebagai penghujat
dirajam malam kegilaan
dilarung dalam kapal-kapal
ke luar pulau karang

bersandar pada hantu
aku menjaga mata dalam buta
menjemput maut dalam gila

*meminjam sebuah lagu seorang teman

 c a t a t a n  a n g i n
 

Surgaku adalah air yang mencurahkan bening. Buih-buih pertama yang lafasnya nafas pupus daun dengan anggur, kopi dan mimpi mabuk sendiri
Surgaku masih kamar kecil yang lembab penuh asbak, abu dan lumut.  Tanpa selembar rambut pun menyeberanginya. Aku telah bersaksi kepadamu tentang surga dan dia yang sempat terlupa. Angin yang bergasing telah mematahkan  tulang-tulang rusuknya demi seutas nafas hantu ular belang

 

Segala yang mesti terjadi
Terjadilah

 
 h e m b u s a n  l a l u
 
08/01/2003 - 09/01/200309/01/2003 - 10/01/200310/01/2003 - 11/01/2003
 
 p e r s i n g g a h a n
 
agung yudha
agustinus wahyono
amma
apip
arie rose
arwan maulana
bunga rumput liar
candylam
cecil mariani
edi santana
EdSen
fc
hans
hasan aspahani
idaman_andarmosoko
indah ip
Jule
MM
MasPus
malina sofia
marx
meli indie`
nanang suryadi
pepen:p
odhed tea ningan
ompit abimanyu
qizink la aziva
randu rini
rano
rawins
r3drose
saza
sihar ramses
sireum hideung
Tantry
ts pinang
Ureh
ventry
 
 p u t i n g  b e l i u n g
 

tag-board.com

Nama

URL / Email

Pesan (smilies)

 i n t e r a k t i f
 
Polling
Apakah isi situs ini memuaskan anda?

Ya
Tidak
Ragu-ragu
No Comment



Current Results
 
 

:: special designed by sz & hk ::