<$BlogRSDUrl$>
 
 
[ essay angin ]

wajahangin  :  sajak  :  geguritan  :  features&news  :  essay  :  cerpen  :  email
 
Sunday, August 03, 2003
 

 

Pengantar Menuju: Pengantar Menuju Sastra Bermanfaat

Dalam masyarakat Jawa bagian selatan dikenal ungkapan ter-teran semut. Ungkapan ini kerap muncul mengikuti peristiwa dimana seseorang yang sedianya mengantarkan orang lain juga minta diantarkan balik ke tempat semula. Begitulah kesan yang saya terima ketika saudara Ribut Wijoto (ia lulusan Sastra Indonesia) meminta saya untuk memberikan pengantar atas sejumlah esainya untuk dijadikan antologi yang kini ada di tangan anda.

Kemudian pikiran saya mulai disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutannya. Apakah maksud saudara Ribut Wijoto dengan permintaannya (yang setengah berbau intimadasi) ini? Saya bukan orang yang secara intens mengikuti perkembangan sastra, lebih-lebih perkembangan esai-esai sastra. Pengetahuan teknis saya mengenai esai sastra pun belum bisa dikatakan memadai, apalagi kalau harus memberikan komentar mengenai bentuk sastra paling rumit ini.

Setelah membisu dari pertanyaan-pertanyaan saya, yang dianggap sebagai interview, secara berbisik saudara Ribut Wijoto membuka sedikit maksud permintaan tersebut. Saudara Ribut Wijoto, kalau saya tak salah dengar, memang mengharapkan ada pendapat atas esai-esainya yang bukan berasal dari kalangan pemikir sastra. Ribut berharap, demikian sependengaran saya, adanya semacam variasi lain atas kajian terhadap esai-esainya, alih-alih kajian dari kalangan sastrawan dan ahli sastra. Dalam hal ini, Ribut ingin mendapat komentar dari orang yang pernah sedikit mengenal ilmu komunikasi. Ribut ingin esai-esai sastranya dikaji dari sudut pandang (baca; pandangan dunia, menurut versi penyair W. Haryanto) disiplin ilmu komunikasi.

Lalu dengan bagian mana dari ilmu komunikasi saya bisa membaca secara memadai atas karya-karya besar saudara Ribut Wijoto yang nyata-nyata jauh lebih mumpuni ketimbang saya ini. Mula-mula saya mengajukan tawaran untuk menyelipkan pandangan saya terhadap kejanggalan hubungan yang selama ini terjadi antara teori-teori yang berkembang pada ranah sastra dan ilmu komunikasi. Bukan pada gejala ketidakseimbangan kontribusi antar disipliner tersebut, melainkan pada perbedaan keselarasan keduanya dalam mengikuti perkembangan kajian pasangannya (jika keduanya diandaikan sebagai pasangan oposisi biner yang saling mengandaikan).

Dahulu, 5.000 tahun yang lalu, di sebelah timur Laut Mati ada sebuah desa, Bab elh-Dhra. Selama berabad-abad, desa ini menjadi persaingan musafir padang pasir, karena airnya yang terkenal. Kira-kira tahun 3.000 SM., beberapa keluarga pindah ke Bab elh-Dhra dan mendirikan perkampungan pertanian yang pertama. Ribuan tahun perkampungan ini berdiri sampai akhirnya hilang dari sejarah manusia. Yang tertinggal hanyalah petilasannya. Komunikasi, seperti Bab elh-Dhra, ramai dikunjungi bermacam-macam sarjana. Tetapi pada umumnya mereka hanya tinggal saja, seperti musafir padang pasir, lalu melanjutkan perjalanannya masing-masing, sebagaimana kata Wilbur Schramm selaku seorang tokoh studi komunikasi.

Kenyataan yang tak bisa dipungkiri, bahwa para pelopor ilmu komunikasi memang berlatar-belakang ilmu lain yang tertarik pada ilmu komunikasi; misalnya Harold Lasswell yang berasal dari dunia ilmu politik, Claude Shannon dan Warren Weaver yang ahli teknik (fisika), Paul Lazarsfeld yang sosiolog dan Wilbur Schramm yang ahli bahasa Inggris. Sejumlah teori dalam ilmu komunikasi juga dipinjam dari disiplin-disiplin lain. Teori S-R, Teori S-O-R, dan Teori Belajar Sosial Albert Bandura, sebenarnya dipinjam dari psikologi. Hipotesis Sapir-Whorf dalam komunikasi antar budaya awalnya dikemukakan oleh Edward Sapir dan muridnya Benjamin Lee Whorf yang sama-sama ahli linguistik. Persepektif dramaturgis Erving Goffman sebenarnya berasal dari teori sosiologi.

Dalam hubungan intimnya antara ilmu komunikasi dan ilmu sastra, nampak pada Studi Resepsi. Para teorisi komunikasi pada satu sisi melangkah dari perspektif kognitif yang berkaitan dengan proses interpretasi, organisasi informasi, dan pembuatan penilaian sastra sangat mengedepankan teori pemaknaan Osgood. Di sisi lain, analisis resepsi didasarkan pada sejarah perkembangan kritik sastra dan semiotika…setidaknya dalam estetika resepsi Jerman. Sementara, pada Studi Sastra sendiri telah berkembang perdebatan yang keras berkaitan dengan pemanfaatan analisis resepsi. Setidaknya, hal ini bisa dilihat pada kritik tajam Rene Wellek yang menganggapnya sebagai…hanya merupakan mode yang lewat begitu saja. Kritik tajam ini pun mengundang keberatan metodelogis terperinci. D. W. Fokkema dan Elrud Kunne-Ibsch yang bisa dilihat sebagai pembela analisis resepsi mengemukakan…bahwa pandangan yang berorientasi pada resepsi sudah dekat sebelum Rezeptionsasthetik diciptakan. Formalisme memainkan peranan penting dalam hal ini.

Paparan di atas menunjukkan betapa para ahli komunikasi kerap mengambil pijakan atas pemikiran berdasar rentang penelusuran yang terlalu dekat dan terkesan menyederhanakan (kalau tak bisa disebut dangkal atau naif). Sebaliknya, bidang studi lain (seperti sastra) pun tak kalah cerobohnya dalam menanggapi fenomena yang bersamaan menjadi bagian dari studi komunikasi.

Masih dalam kasus resepsi, Roman Jakobson menawarkan penggunaan model komunikasi teks sastra berdasarkan model teori informasi dan sibernetika Shannon-Weaver, sebagaimana kemudian dipopulerkan oleh para pakar Sastra di Indonesia melalui perkenalan mereka dengan tokoh ilmu sastra Rien T. Segers. Fenomena ini pun menunjukkan satu keyakinan yang naif, sebab model Shannon-Weaver dalam studi komunikasi sendiri telah dianggap tidak memadai karena sifatnya yang linier. Namun, teori resepsi di tangan para ahli sastra juga memberikan sumbangan yang berarti bagi pertumbuhan ilmu komunikasi, melalui pemilahan pembaca (audience).

Namun, sekali lagi saya bukan seorang pembaca yang ideal/ahli/kompeten dalam mengupas esai-esai sastra Ribut Wijoto. Lebih dari itu, tampaknya saudara Ribut Wijoto sendiri lebih suka jika saya menggunakan pendekatan Marshall McLuhan dan Quentin Fiore mengenai media. Menurut saya, pilihan sudut pandang pembahasan yang diberikan oleh Ribut Wijoto itu merupakan lompatan yang sangat jenial. Ribut Wijoto, setahu saya memang cukup jenial.

Pada tahun 1967, Herbert Marshall McLuhan dan Quentin Fiore membalikkan fokus perhatian ilmuwan komunikasi dengan salah satu konsepsi mereka yang populer sebagai berikut : the mediumis the message. Jika sebelumnya para peneliti lebih terfokus pada elemen komunikator dan komunikan sebagai unit analisis, sejak itu orang mulai tertarik pada implikasi teknologi (media) komunikasi terhadap sosial.

Seandainya saya membicarakan masalah komunikasi, maka anda akan mendengar tentang berbagai penemuan dari beberapa hasil penelitian yang concern terhadap fonomena teknologi komunikasi. Di samping berbagai penemuan mengenai pengaruh teknologi (media) komunikasi yang dilakukan secara diakronis di beberapa belahan dunia, juga terdapat studi yang hingga kini belum selesai; yakni, pengaruh teknologi (media) komunikasi terhadap pelbagai bentuk masyarakat.

Pada gilirannya berbagai penelitian tersebut makin meyakinkan bahwa media mempunyai nilai yang setara dengan informasi. Ketika orang memilih media tertentu, sebenarnya sulit untuk memastikan; apakah pilihan tersebut atas dasar pertimbangan kegunaan/manfaat (informasi). Ada kalanya pilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan nilai artistik atau atraktif media, nilai simbol status media sebagai benda, atau pertimbangan lainnya.

Fenomena media ini memang cukup menarik. Orang kerap mempermasalahkan perilaku media. Sejak tulisan ditemukan, media baru yang muncul sering disalahartikan. Seorang kakek dari zaman perjanjian lama dengan wajah bersungut-sungut mengingatkan anaknya; “Hati-hati Yakob, kalau kau melakukan itu terus, kau akan menjadi pelupa”. Di depannya si anak yang sudah mulai botak itu sambil meleletkan lidahnya dan terus tersenyum asyik menuliskan sesuatu di atas batu asbaknya. Sementara itu, seorang penjual minyak keliling saat bersandar pada pagar kampus B Unair dan menikmati kopi warung Mak Mursinah, mengeluhkan perbedaan kemampuan seorang siswa sekarang dengan siswa dari zaman dia pernah mengajar dulu. “Anak sekarang mana ada yang ininya,” ujarnya seraya mengetukkan jari pada keningnya sendiri, “cukup kuat kalau ditanya soal berhitung. Umumnya mereka tergantung sama kalkulator.” Kekurangan-pahaman (kalau bukan kesalah-pahaman) semacam ini, relatif sama dengan kurangnya pemahaman masyarakat pada makna komunikasi itu sendiri, beserta elemen-elemennya. Orang akan dengan mudah mengkaitkannya dengan teknologi telekomunikasi atau yang sedikit lebih paham akan menghubungkannya dengan jurnalistik ketika mendengar kata komunikasi. Sebuah kesalahan yang terlanjur parah. Bahkan, sebagian (besar) sastrawan/penyair kita masih mengidap kerancuan antara industri media dengan sistem media dan media itu sendiri. Sehingga menjadi wajar ketika seorang penyair yang akademis sekalipun dengan mudah melemparkan atas lemahnya apresiasi masyarakat terhadap sastra kepada media. “Kalau mau masyarakat kita punya apresiasi terhadap sastra, ya jangan salahkan penyair yang menciptakan karya. Media-media itulah yang seharusnya memberi ruang lebih banyak pada sastra…” Seru seorang penyair besar dalam sebuah diskusi yang bernafsu di Galeri Surabaya, DKS, beberapa waktu lalu.

Media menurut pandangan perspektif komunikasi merupakan satu bagian dalam rangkaian proses komunikasi yang menjadi saluran bagi penyampaian pesan. Dari batasan komunikasi yang paling primitif sekalipun keberadaan media menjadi vital dalam proses penyampaian pesan tersebut. Lasswell menyatakan dalam; who says what to whom in which channel with what effect. Formula yang dianggap sudah kadaluwarsa karena mengabaikan elemen feed back sehingga menunjukkan komunikasi sebagai proses “satu arah” ini pun menyarankan pentingnya channel/media dalam proses komunikasi.

Media, menurut saya berdasarkan perspektif komunikasi, bisa beragam bergantung bentuk komunikasi yang kita lakukan. Bentuk komunikasi itu bisa intrapesona, interpesona, kelompok, dan massa. Sebagian ahli komunikasi, seperti Paul Deutchmann, menyatakan adanya komunikasi yang menggunakan media dan yang tidak menggunakan media. Menurut saya ini pemahaman yang dangkal, karena kurang kejelian Deutchmann dalam mencermati elemen media ini. Paul Deutchmann dalam matriks bentuk komunikasinya memilah adanya private communication dan public communication. Kedua bentuk komunikasi tersebut dibagi kembali dalam bentuk bermedia dan tidak. Face to face communication menurut matriks Deutchmann bukanlah komunikasi yang bermedia, baik private maupun public communication.

Pemahaman bentuk komunikasi dalam matriksnya Dutchmann menjadi kacau ketika berhadapan dengan pernyataan McLuhan; the medium is the message. Jika menurut McLuhan nilai media sedemikian vital, tentu menjadi aneh jika kemudian Deutchmann mengabaikan peranan media dalam bentuk komunikasi tatap muka. Dalam artian yang lebih luas, matriks Deutchmann mengabaikan adanya udara sebagai saluran paling primitif, dan bahasa sebagai bentuk media paling primordial. Analogi yang paling sederhana untuk mengungkapkan soal udara dan bahasa sebagai channel dan medium paling dalam komunikasi tatap muka barangkali bisa diambil dari pengamatan kita terhadap kerja komputer.

Dalam satu wilayah yang memanfaatkan local area network, maka berbagai perangkat kabel dan modem bisa disejajarkan dengan posisi udara dalam bentuk komunikasi tatap muka. Seperti manusia, komputer juga memiliki tubuh berupa hardware dan sistem bahasa berupa program yang tercakup dalam softwarenya. Bahasa (program) sekalipun disebut sebagai perangkat lunak, namun jelas bahwa posisinya sama seperti bahasa bagi manusia yakni sebagai media komunikasi. Teks yang saat ini ada di tangan anda, pada saat penulisannya tidak akan berjalan lancar jika bahasa program yang digunakan untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri mengalami gangguan atau sama sekali belum diinstall. Memori sebagai gudang ingatan tidak akan menghasilkan apa pun jika berisi gagasan/pesan yang telah terkemas dalam bentuk bahasa.

Kadang anda merenung sambil nongkrong atau jongkok di atas lubang kakus, atau mencorat-coret kertas buat merencanakan masa depan anda, atau bermimpi, atau melakukan masturbasi; saat itu anda tengah berkomunikasi dengan diri anda sendiri. Komunikasi intrapesona seperti itu tentu sulit terjadi (jika bukannya tidak mungkin) kalau belum ada program bahasa tertentu yang telah diinstall oleh ibu dan masyarakat anda. Apa yang anda pikirkan, jika tidak mempunyai perangkat lunak untuk memikirkannya. Begitulah bahasa menjadi media yang paling primordial dalam komunikasi kita. Pun dapat kita jumpai pendapat Panuji Sujiman dalam bukunya mengenai stilistika yang menyinggung posisi media bahasa dalam proses komunikasi ketika linguist indonesia ini memberikan batasan atas wacana. Dikatakan bahwa; Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasa tulisan.

Berdasarkan paparan di atas, saya berharap bahwa relasi antara bahasa (dan sastra) dengan komunikasi serta kesetaraan nilai antara media dan pesan bisa menjadi lebih jelas. Panjang dan berbelit memang itulah sebabnya saya menganggap bahwa saudara Ribut Wijoto ini sosok yang jenial, lompatan-lompatan pemikirannya kadang sulit dipahami, terutama oleh orang-orang yang masih tergolong awam seperti saya ini.

Saya mengenal saudara Ribut Wijoto sekitar pertengahan 1995. Ketika itu Ribut sedang getol-getolnya berteater dan bersastra. Saya sempat menonton pementasan di DKS yang menampilkan penampilan ketrampilan Ribut berputar-putar mengelilingi rekannya yang berkelojotan, sambil dia sendiri membawa air mineral dalam gallon. Dalam pertemuan berikutnya, di sebuah warung, saya sempat bertanya; “apakah sudah benar-benar siap…memasuki dunia kesenian dan sastra?” Waktu itu dengan anggukan pasti Ribut menyahut, “Ya, harus siap mas.”

Waktu itu secara ceroboh saya meragukan ketahanan Ribut di dunia kesenian yang menurut saya pribadi sangat mewah dengan keangkuhan dalam kemiskinannya. Seorang mahasiswi pernah memprotes sengit kepada saya; “jangan larut ke dalam sikap hidup absurd.” Weh, pikir saya, kesenian macam apa yang tidak pernah didasari sikap hidup absurd dan absurditas. Totalitas pekerja seni yang tidak berserah diri pada sikap absurd akan mudah dibelokkan ke arah pragmatisme gaya hidup yang makin meraja ini.

Saya anggap bahwa keraguan saya dulu adalah sebuah kecerobohan, karena ternyata Ribut Wijoto masih bertahan di dunia sastra. Selamat Ribut, anda telah menjalani segala kegilaan ini. Saya pun merasa kagum dengan lompatan-lompatan pemikiran Ribut yang menunjukkan besarnya tekad Ribut untuk berkembang. Lompatan-lompatan pemikiran Ribut ini juga bukan hal yang ada begitu saja. Esais besar ini telah pula menjalani lompatan-lompatan karir yang cukup menarik.

Awal kuliahnya waktu Ribut selain kuliah adalah aktivitas SKI dan Teater Gapus. Belakakangan SKI mulai ditinggalkan, tapi tradisi menyebut orang yang sedikit lebih tua dengan sebutan Pak dan Bu masih sulit ditanggalkan. Teater Gapus kemudian menumbuh-suburkan minatnya pada sastra, maka sambil berteater mulailah dia menulis cerpen. Saya sempat diberi tunjuk antologi puisi pribadinya yang dicetak dan diterbitkan sendiri, saya tidak ingat kapan pastinya, saudara Ribut Wiojoto mengkususkan diri sebagai penulis esai.

Sekali lagi, saya mengatakan, bahwa saya bukan seorang pembaca ahli/idela/kompeten untuk membaca dan pada gilirannya memahami serta membahas esai-esai saudara Ribut Wijoto ke hadapan anda. Ketika saudara Ribut memberikan bocoran bahwa tulisan-tulisannya ini bukanlah kritik sastra melainkan esai sastra, maka saya pun segera menyetujuinya. Saya pun akan kewalahan kalau dalam kurun waktu singkat harus memahami sekian banyak tipe kritik sastra, mulai dari kritik judisial sampau kritik baru. Belum lagi ketika harus memasuki tiap teks sastra Ribut ke dalam kategorisasi tersebut. Ini merupakan kelemahan yang sudah saya duga, tapi saya berjanji I will serve you better. Pilihan penyebutan karyanya sebagai esai oleh Ribut ini juga mengandung niali realitas; sebagaimana bentuk esai sendiri yang berada di antara yang idealis dan yang obyektif.

Dari mula menuliskan catatan saya ini, saya sudah lebih dulu memilih untuk membahas retorika bahasa esai sastra Ribut. Retorika yang saya maksud di sini ialah bentuk atau model berpikir untuk menyampaikan maksud yang dikehendaki. Dengan demikian, retorika pada dasarnya bersangkut-paut dengan apa yang terjadi dalam pikiran kita, bukan dengan apa yang sekedar keluar dari mulut kita. Retorika dalam hal ini pun bisa berkaitan dengan faktor-faktor analisis, pengumpulan data, interpretasi, dan sintesis. Robert B. Kaplan pada tahun 1980 mengajukan pandangan menarik terkait dengan retorika bahasa berdasarkan temuan-temuan pakar antropologi budaya. Kaplan mengingatkan bahwa tindakan obyek tertentu dipersepsi dan dimaknai secara berbeda sesuai nilai-nilai budaya yang melekat pada perilaku budaya tersebut. Lebih jauh Kaplan menyatakan bahwa persepsi dan pemaknaan pada gilirannya juga bergantung pada kerangka referensi pelakunya.

Perihal kerang referensi dan peranannya dalam komunikasi bisa diperhatikan pada model komunikasi Wilburr Schramm yang menyatakan bahwa semakin besar singgungan antara kerangka referensi dan lahan pengalaman antara dua orang yang sedang berkomunikasi maka semakin besar kemungkinanya untuk terjadinya kesamaan paham dan pemahaman; komunikasi berarti proses membagikan paham yang sama.

Menyangkut masalah retorika yang sifatnya sangat kontekstual itu, Kaplan menenggarai adanya empat tipe utama retorika bahasa. Pertama; retorika model Anglo-Saxon yang berkembang dengan cara berpikir Plato-Aristotelian dan kemudian dianut oleh para pemikir dari dunia Barat sejak zaman Yunani Kuno, Romawi, Abad Pertengahan, Renaisance, sampai sekarang. Retorika model ini bersifat linier, tercermin pada cara organisasi pengembangan gagasan paragraf. Dalam wujud yang lebih besar, komposisi atau esai misalnya terdapat pada bagian awal suatu komposisi. Kemudian diikuti verifikasi dengan penjelasan yang lebih rinci pada peragraf-paragraf penunjangnya.

Kedua; retorika model semitik, yang umumnya berkembang dari budaya Arab-Persia. Model ini ditandai dengan adanya penggunaan paralelisme berlebihan. Sehingga berlebihan pula penggunaan kata ‘dan’ dan kata ‘tetapi’. Sehingga jumlah kalimat majemuk setara jauh lebih besar daripada jumlah kalimat kompleks yang bertingkat.

Ketiga; retorika model Asia, termasuk yang berkembang dalam budaya Indonesia. Tipe ini ditandai dengan cara berpikir yang tidak langsung kepada inti persoalan. Retorika bahasa model Asia melihat masalah inti dari beberapa sisi secara tidak langsung.

Keempat; retorika model Franco-Italia, termasuk Spanyol. Dalam model ini terdapat banyak penyimpangan dengan pemakaian kata-kata berbunga-bunga yang kadang tidak menyentuh masalah intinya. Model ini terkadang terdengar puitis.

Dari sepuluh esai Ribut Wijoto umumnya memiliki bentuk retorika bahasa linier. Mulai dari “Gaya Barok pada Puisi Indonesia” yang merupakan esai pada awal penulisan esai Ribut sampai dengan “Gramsci dan Kerangka Kerja Sastra” terdapat hubungan langsung antara pernyataan tesis yang dinyatakan secara jelas dan ide-ide pendukungnya. Pernyataan tesis biasanya terdapat pada paragraf awal. Pernyataan itu biasanya didahului oleh beberapa pernyataan lain yang sifatnya sangat umum dan lazimnya merupakan latar belakang dari masalah inti yang dibahasnya. Pada esai “Perlawanan Karya Sastra” tampak bagaimana Ribut mendahulukan paragraf-paragraf pendahuluan sebagai latar belakang masalah intinya yang terletak pada paragraf ke-7. Pola formulasinya bergerak dari yang paling umum ke arah yang paling khusus sampai diangkat kembali kepada tradisi sastra dan kemudian ditutup dengan pertanyaan-pertanyaan kunci tesisnya.

Pada awal atau akhir esai letak tesis dinyatakan yang jelas terdapat hubungan yang jernih antara pernyataan tesis dan gagasan-gagasan penunjangnya. Pertanyaanya kemudian, bagaimana bisa Ribut yang orang Indonesia menggunakan model linier yang identik dengan retorika barat? Hal ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh pendidikan formal yang menjejali kita dengan gaya lurus penyampaian gagasan ala barat. Pengaruh budaya bangsa Asia nyaris tak terlihat dalam model retorika bahasa esai-esai Ribut Wijoto. Kalau pun ada pengaruh model budaya Arab-Persia maka hal itu hanya muncul dalam wujud penggunaan secara berlebihan pada kata atau frase yang menggabungkan sekaligus dua wilayah yang berbeda; seperti, dipertaut-tengkarkan, bertukar-tangkap dengan lepas.

Perkecualian, barangkali, terlihat pada “Tawaran Estetika Cerpen Koran”. Pada esai ini Ribut berusaha menggunakan gaya penulisan Caping-nya Goenawan yang cenderung tidak langsung ke inti persoalan. Dalam esai tersebut terdapat hubungan yang jelas antara cerpen dan koran pada paragraf awalnya, namun tesis mengenai tawaran estetika cerpen koran itu sendiri muncul sebagai kesan-kesan yang kabur. Bahkan sekalipun bentuk penulisan Caping-nya Goenawan sempat diangkat dalam esai ini sebagai bentuk tulisan yang cerdas, namun tidak serta merta memberikan pengaruh kecerdasan yang setara pada esai ini sendiri. Atau barangkali memang begini adanya esai koran sesuai dengan penerimaan Ribut Wijoto pada tradisi sastra—khususnya cerpen—koran seperti yang kemudian dicetuskan pada bagian akhir esai.

Selain persoalan retorika bahasanya yang linier, esai-esai Ribut umumnya mengandung bayak percikan gagasan yang kadang jatuh hanya sebagai klaim. Pada “Gaya barok pada Puisi Indonesia”, klaim munculnya gaya Barok pada dunia perpuisian Indonesia aganya tidak terlalu meyakinkan bagi Ribut sendiri. Klaim itupun kemudian bersembunyi pada mantra atavisme universal. Seperti Sutardji yang dikutip dalam esai ini rupanya Ribut ingin menggunakan teknik mantra pada klaim-klaimnya. Setelah melalui perjuangan yang bertele-tele rupanya saudara Ribut tidak mengakhiri esai “Gaya barok pada Puisi Indonesia” ini dengan memberikan contoh yang jelas. Puisi manakah yang bergaya barok itu, tidak jelas.

Cukup banyak hal yang bisa ditarik sebagai pelajaran berharga dari pembicaraan atas esai-esai Ribut Wijoto. Masih banyak yang tersisa, saya yakin, misalnya saja ketegangan pemikiran yang saling berdesakan dalam benak Ribut ketika menuliskan esai-esainya, kegagapan Ribut terhadap hal-hal baru di luar sastra, keraguan, kecemasan, dan sebagainya. Namun, sekali lagi, sebagaimana Ribut banyak bersembunyi dalam mantra-mantra pemikiran tertentu dan karena saya menganggap bahwa Ribut telah memberikan sejenis pencerahan dalam khazanah “Kesusastraan”, saya pun turut suka bersembunyi pada ajimat sebuah teks selalu sebuah pengantar bagi teks lain. Lebih-lebih jika teks ini adalah pengantar menuju pengantar sastra yang bermanfaat, tentu ungkapan jiwa selatan itu terdengar lagi…”ter-teran semut”.



_______, Hartatik Salon 2003

 

# berhembus waktu 1:16 AM : []

 
 
 
 
 s a n g  a n g i n


negeri hantu

aku hidup di negeri hantu*
tak percaya adalah hujan batu
ke arahku dan selamanya ular
dihujat sebagai penghujat
dirajam malam kegilaan
dilarung dalam kapal-kapal
ke luar pulau karang

bersandar pada hantu
aku menjaga mata dalam buta
menjemput maut dalam gila

*meminjam sebuah lagu seorang teman

 c a t a t a n  a n g i n
 

Surgaku adalah air yang mencurahkan bening. Buih-buih pertama yang lafasnya nafas pupus daun dengan anggur, kopi dan mimpi mabuk sendiri
Surgaku masih kamar kecil yang lembab penuh asbak, abu dan lumut.  Tanpa selembar rambut pun menyeberanginya. Aku telah bersaksi kepadamu tentang surga dan dia yang sempat terlupa. Angin yang bergasing telah mematahkan  tulang-tulang rusuknya demi seutas nafas hantu ular belang

 

Segala yang mesti terjadi
Terjadilah

 
 h e m b u s a n  l a l u
 
08/01/2003 - 09/01/200309/01/2003 - 10/01/200310/01/2003 - 11/01/2003
 
 p e r s i n g g a h a n
 
agung yudha
agustinus wahyono
amma
apip
arie rose
arwan maulana
bunga rumput liar
candylam
cecil mariani
edi santana
EdSen
fc
hans
hasan aspahani
idaman_andarmosoko
indah ip
Jule
MM
MasPus
malina sofia
marx
meli indie`
nanang suryadi
pepen:p
odhed tea ningan
ompit abimanyu
qizink la aziva
randu rini
rano
rawins
r3drose
saza
sihar ramses
sireum hideung
Tantry
ts pinang
Ureh
ventry
 
 p u t i n g  b e l i u n g
 

tag-board.com

Nama

URL / Email

Pesan (smilies)

 i n t e r a k t i f
 
Polling
Apakah isi situs ini memuaskan anda?

Ya
Tidak
Ragu-ragu
No Comment



Current Results
 
 

:: special designed by sz & hk ::